ABDUL MUHYI PAMIJAHAN
Wali Allah yang amat terkenal, khususnya di wilayah Jawa Barat, salah satu ulama yang berjasa besar menyebarluaskan Tarekat Syattariyyah di pulau Jawa. Beliau juga menyebarkan ajaran doktrin “martabat tujuh” yang kelak mempengaruhi pemikiran Tasawuf di Pulau Jawa. Makamnya yang berada di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi salah satu pusat ziarah utama. Banyak yang berziarah kesanaterutama pada bukan maulid (Rabiul Awwal) untuk mengharapkan berkah dan tujuan-tujuan keduniawian.
Tidak diketahui pasti kapan Syekh Abdul Muhyi dilahirkan – setidaknya ada dua versi, yakni tahun 1640 dan atau 1650. Salah satu riwayat menyatakan beliau lahir di Kartasura. Ibundanya, Nyi R. Ajeng Tangenjiah, masih keturunan Rasulullah, sedangkan ayahandanya, Sembah Lebe Wartakusumah adalah keturunan Raja Galuh. Syekh Abdul Muhyi menghabiskan masa remajanya di Gresik, Jawa Timur. Kemudian, pada usia 19 tahun, beliau pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh ABDUR RAUF SINGKEL selama kurang lebih 8 tahun (1669-1677). Kemudian, dalam usia 27 tahun, beliau diajak gurunya menziarahi makam Sulthan al-Awliya Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau sempat bermukim diBaghdadselama 2 tahun untuk mendalami Islam, terutama Tasawuf. Kemudian bersama gurunya pula beliau menunaikan ibadah haji. Di Mekah inilah Syekh Abdur Rauf menerima ilhami rabbani yang menyatakan bahwa salah satu muridnya akan menjadi wali besar. Menurut ilham ini, jika nanti Syekh Abdur Rauf sudah mengetahuinya, maka si murid harus segera disuruh pulang ke Jawa untuk menyebarluaskan ajaran yang diperolehnya di suatu tempat tertentu. Tempat yang dimaksud bercirikan sebuah gua yang konon bekas tempat Syekh Abdul Qadir al-Jilani menjalani tawajjuh dalam menerima ilmu dari gurunya, Syekh Imam Sanusi.
Sebelum mencari tempat dimaksud, Syekh Abdul Muhyi pulang terlebih dahulu untuk mohon doa restu orang tuanya. Tetapi orang tuanya menyarankan agar beliau menikah terlebih dahulu. Beliau kemudian menikah dengan Ayu Bakta. Tak lama setelah menikah Syekh Abdul Muhyi berangkat menuju sebuah tempat yang kini disebut Darma di Kuningan Jawa Barat. Di sini beliau menetap selama 7 tahun dan mendakwahkan ajaran Islam. Sembari mengajar dan berdakwah beliau selalu mencari-cari gua yang diisyaratkan oleh ilham gurunya itu. Salah satu tanda lokasinya adalah jika beliau menanam padi satu, maka hasilnya juga satu, artinya tidak menambah penghasilan. Tetapi selama beberapa tahun menanam padi, hasilnya selalu melimpah-ruah. Setelah 7 tahun mencari tidak ketemu, beliau kemudian mengembara lagi, kali ini ke daerah Pameungpeuk, Garut Selatan. Kepergiannya ditemani sanak-keluarganya, termasuk kedua orang tuanya. Di sini beliau harus menghadapi lawan berat – para dukun ilmu hitam dan penjahat. Di sini pula ayahandanya meninggal dunia, dan dimakamkan di Kampung Dukuh. Setelah setahun, beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Batuwangi, dan Lebaksiuh. Dalam berdakwah di daerah-daerah ini beliau harus menghadapi tantangan dari penganut Hindu yang memusuhinya dan menyerangnya baik itu dengan ilmu gaib (sihir) maupun secara fisik. Tetapi karena selama menanam padi di sini hasilnya juga melimpah, beliau melanjutkan perjalanan ke lembah di gunung Cilumbu, sebuah lembah yang indah. Gunung ini kelak dinamakannya “Gunung Mujarod,” tempat menenangkan diri atau dalam bahasa Sunda “nyirnakeun manah.” Di kawasan inilah padi yang ditanam Syekh Abdul Muhyi hanya berbuah satu. Dan pada 1690 M beliau, yang sudah berumur 40 tahun, menemukan gua yang kelak dikenal sebagai Gua Pamijahan.
Gua inilah yang kemudian menjadi pusat dakwahnya, dan merupakan tempat yang keramat, karena sering dipakai oleh Syekh Abdul Muhyi untuk melakukan riyadhah spiritual. Konon Syekh Abdul Muhyi bisa langsung ke Mekah melalui salah satu lorong sempit di di sekitar gua itu. Saat itu tempat itu masih dinamakan Gua Safar Wadi. Nama Pamijahan adalah sebagai perlambang – karena banyak orang berdatangan berduyun-duyun ke gua, laksana ikan yang akan bertelur (mijah), maka ia kemudian disebut “Pamijahan.”
Kharisma dan keilmuannya menyebabkan nama Syekh Abdul Muhyi terkenal di mana-mana. Bahkan banyak ulama yang datang untuk berguru kepadanya. Yang terkenal adalah Syekh Maulana Mansur (putra Sultan Abdul Fatah Tirtayasa Banten) dan Syekh Ja’far Shadiq dari Garut. Konon mereka bertiga sering pergi ke Mekah lewat sebuah lorong sempit di gua. Bahkan Sultan Mataram saat itu (Paku Buwana I) secara khusus meminta Syekh Abdul Muhyi untuk mengajari putra-putrinya, dengan imbalan daerah Pamijahan akan dibebaskan dari pajak, atau dijadikan tanah perdikan yang otonom. Syekh Abdul Muhyi meninggal pada tahun 1715 atau menurut riwayat lain tahun tanggal 8 Jumadil Awwal 1151 H atau 1730 M.
Ajaran dan karamah
Selain menjadi Mursyid Tarekat Syattariyyah, Syekh Abdul Muhyi juga mengajarkan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah – beliau menulis risalah Tarekat ini yang berjudul Kitab Tariqah Qadriyyah wa Naqsyabandiyyah. Sebagaimana Mursyid Tarekat pada umumnya, Syekh Abdul Muhyi mementingkan penanaman zikir, agar tidak sekedar lisan, tetapi juga merasuk dan tertanam kuat dalam hati. Syekh Abdul Muhyi menyebutkan tujuh prinsip perjalanan spiritual yang didasarkan pada zikir kalimat Tauhid. Pertama adalah mendekatkan diri secara lahir dan batin. Kedua adalah mengisi lathaif (organ batin) dengan kalimat laa ilaha illa Allah. Ketiga adalah menyatukan penglihatan mata batin dengan “rasa” Tuhan. Selalu menyadari kekuasaan, otoritas dan kekekalan Allah. Unsur indera jasmani harus bersatu dengan indera ruhani dan hati. Keempat adalah menyatukan kalimat thayyibah dengan diri keseluruhan: indera, pikiran, perasaan, hati. Kelima adalah mengaktualkan kalimat thayyibah dalam perbuatan, yakni mempraktikkannya secara rinci. Ada empat modal utama dalam hal ini, yakni yakin, iman, islam dan sabar. Keenam adalah menjauhi semua perbuatan dosa. Dan ketujuh adalah menyatukan diri dalam kodrat dan iradat Ilahi. Menurut Syekh Abdul Muhyi, orang Islam harus khusyuk mentafakuri makna kalimat laa ilaha illa Allah ini. Orang Islam tidak cukup hanya beribadah hanya karena ganjaran, hanya karena takut siksa. Yang lebih utama dari itu adalah ibadah sebagai tindak kepatuhan dan kebaktian kepada Allah, mengikuti perintah Rasulullah.
Mengenai zikirnya, Syekh Abdul Muhyi menyebut ada tujuh tingkatan zikir. Pertama zikir lisan dengan kalimat thayyibah atau zikir nafy-itsbat. Kedua adalah zikir ism al-dzat, menyebut kalimat Allah huwa Allah huwa, yang akan berlanjut ke zikir ism al-ghaib (hu hu). Ketiga adalah zikir al-sirr, zikir pelan dalam hati. Keempat adalah zikir syughul al-insan al-kamil, yakni zikir dengan menggambarkan rupa guru sambil “mengukir” tanda kekuasaan Allah di dalam hati. Kelima adalah zikir syughul al-ibrah, zikir dengan niat menerakan asma Allah di dalam segala yang maujud. Keenam adalah zikir syughul al-mir’ah, yakni zikir dengan niat berkaca dalam cermin Allah. Dan ketujuh adalah zikir syughul al-isti’la, yakni semacam upaya menyaksikan dengan bashirah Allah, melihat di dalam kehendak-Nya, sehingga mampu melihat Ruh Muhammad dan seisi langit dan bumi. Sedangkan lathaif yang mesti dikenai zikir ada tujuh macam, yakni lathifah al-qalab, lathifah al-qalbi, lathifah al-khauf, lathifah al-akhfa, lathifah al-khafi, lathifah al-nafsi dan lathifah al-sirr.
Syekh Abdul Muhyi juga mengajarkan “martabat alam tujuh,” sebuah ajaran tentang tajalli Tuhan, yang bersumber dari ajaran sufi besar Syekh Muhammad ibn Fadlullah Burhanpuri yang dituangkan dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Ajaran ini berkembang dan diajarkan di banyak tempat di Nusantara dengan sedikit variasi versi – seperti oleh Syekh Abdurrauf, Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, dalam serat Centhini karya pujangga Yasadipura II, dan serat Wirid Hidayat Jati karangan Ronggowarsito. Versi Syekh Abdul Muhyi tidak jauh berbeda. Martabat pertama adalah Ahadiyyah – tahap ketika hanya ada Allah yang tanpa deskripsi, tanpa ungkapan, tanpa arah, tanpa tempat, pendeknya keadaan yang ghaib dari yang ghaib (ghaib al-ghuyub). Ini adalah ketersembunyian mutlak yang tak terjangkau bahkan oleh para Nabi, yakni “perbendaharaan tersembunyi.” Martabat kedua adalah Alam al-Wahdah, atau ta’ayyun awal yang kadang disebut jauhar awal, atau cahaya pertama, yang dinamakan pula Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad, atau a’yan tsabitah, entitas permanen, semacam “cetak biru” azali bagi eksistensi ciptaan, namun dalam bentuk global, belum ada rincian. Martabat ketiga adalah Alam al-Wahidiyyah, atau ta’ayyun tsani. Alam ini bersumber dari al-Wahdah yang dipancarkan menjadi empat cahaya: merah, kuning, putih dan hitam. Ketiga martabat pertama bersifat qadim dan baqa. Martabat keempat adalah Alam al-Arwah, yang dibuat dari cahaya dengan esensi. Martabat kelima adalah Alam al-Mitsal, adalah dunia “perantara,” di mana yang ruhani di materialkan dan yang material diruhanikan. Martabat keenam adalah Alam al-Ajsam, yang merupakan wujud yang telah tersusun rapi. Tetapi ia bukan pelengkap bagi ruh, melainkan bentuk derajat yang lebih rendah dan kasar dalam gradasi hirarki eksistensi. Dan martabat ketujuh adalah Insan Kamil, yakni tujuan dari penciptaan, untuk memantulkan “perbendaharaan tersembunyi” dalam Keagungan dan Keindahannya-Nya.
Dalam kitab Istigal Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah karamahnya. Diantara adalah sebagai berikut. Suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi. Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathaif laa ilaha illa Allah!” Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Ia selamat tanpa bekas luka apapun.
Seorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul
Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak membaca kalimat tahlil sebanyak 163 kali (atau mungkin 165 kali) di masjid. Tak berapa lama orang itu pun sembuh. Di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh. Kemudian diajak berzikir dengan tahlil sebanyak 163 kali hingga sembuh total.Adalagi orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan
minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 163 atau 165 kali dan sembuh. Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karamahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau. Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.