Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Haram. la terpesona rnenyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Kabah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan. Imam Ja’far Al-Shadiq, tokoh spiritual yang terkenal dan salah seorang ulama besar dari keluarga Rasulullah saw, menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”
Apa yang disaksikan Abu Bashir pada kali yang pertama adalah tubuh-tubuh manusia. Apa yang dilihat kedua kalinya adalah bentuk-bentuk roh mereka. Kita adalah makhluk yang hidup di dua alam sekaligus. Tubuh kita hidup di alam fisik, terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam fisik ini sebagai alam nasut, alam yang bisa kita lihat dan kita raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya. Sementara itu, roh kita hidup di alam metafisik, tidak terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam ini alam malakut. Menurut Al-Quran, bukan hanya manusia, tetapi segala sesuatu mempunyai malakut-nya. “Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya malakut segala sesuatu. Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’ (QS. Yasin 83); ‘Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim, malakut langit dan bumi.” (QS. Al-An’arn 75)
Roh kita, karena berada di alam malakut, tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita. Roh adalah bagian batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat dilihat oleh mata batin. Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat roh dirinya atau orang lain. Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadhah kerohanian atau karena anugrah Allah (al-mawahib al-rabbaniyyah). Para Nabi, para walli, dan orang-orang saleh seringkali mendapat kesempatan melihat ke alam rnalakut itu.
Makanan Roh
Roh -seperti tubuh-juga dapat berada dalam berbagai keadaan. Imam Ali kw berkata, ‘Sesungguhnya tubuh mengalami enam keadaan; sehat, sakit, mati, hidup, tidur, dan bangun. Demikian pula roh. Hidupnya adalah ilmunya, matinya adalah kebodohannya., sakitnya adalah keraguannya, dan sehatnya adalah keyakinannya, tidurnya adalah kelalaiannya, dan bangunnya ialah penjagaannya.’ (BiharAl-Anwar 61:40)
Seperti tubuh, roh pun memerlukan makanan. Mulla Shadra tidak menyebutnya makanan. Ia menyebutnya rezeki. Ia berkata, ‘Setiap yang hidup perlu rezeki, dan rezeki arwah adalah cahaya-cahaya ilahiah dan ilmu-ilmu rabbaniah.’ (Mafatih AI-Ghaib 545)
Untuk meningkatkan kualitas roh, supaya ia sehat dan kuat, kita perlu memberikan kepadanya cahaya-cahaya ilahiah dalam bentuk zikir, doa, dan ibadat-ibadat lainnya seperti salat, puasa, dan haji. Pada Bulan Ramadhan, kita berusaha menerangi roh kita dengan berbagai makanan rohani. Kita mandikan roh kita dengan proses pensucian batin, seperti istighfar, mengendalikan hawa nafsu, dan menjauhi kemaksiatan. Karena itu Nabi saw bersabda, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan atas kamu puasanya dan disunnahkan bagimu bangun malamnya. Barangsiapa yang berpuasa dan melakukan salat malamnya dengan iman dan ikhlas, Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (Dalam riwayat lain) la akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya.’
Kita menghidupkan roh dengan ilmu-ilmu rabbaniah. Inilah yang kita maksud dengan dimensi intelektual dari keberagamaan kita. Ada ilmu-ilmu yang membantu kita untuk memelihara kesehatan tubuh kita seperti ilmu gizi, kedokteran, ekologi, dan sebagainya. Di samping itu, ada ilmu-ilmu yang menolong kita untuk menyehatkan roh kita: ilmu-ilmu tentang Al-Quran dan Sunnah (syariat), ilmu-ilmu tentang cara mendekatkan diri kita kepada Allah (thariqat), dan ilmu-ilmu berkenaan dengan pengalaman rohaniah (haqiqat).
Seperti tubuh, roh yang tidak diperhatikan dan dipelihara, roh yang kekurangan makanan akan menjadi roh yang lemah, sakit-sakitan, dan akan dikuasai setan. Roh yang sakit tampak dalam gejala-gejala seperti kegelisahan, keresahan, kebingungan, hidup yang tidak bermakna, hidup tanpa tujuan, kosongan eksistensial (existential vacuum). Pendeknya, roh yang sakit tampak dalam hidup yang tidak tentram. Al-Quran melukiskannya, ‘Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan kami menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha 124); “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan diberikan kepadanya pet-unjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.’ (QS. Al-An’am 120).
Keindahan Roh
Seperti tubuh, arwah mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa roh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. Roh dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera. Tuhan berkata, ‘Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah 60)
Al-Ghazali menulis: ‘Al-Khuluq dan Al-Khalq kedua-duanya digunakan. Misalnya si Fulan mempunyai khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan batin. Yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahir, yang dimaksud dengan khuluq adalah bentuk batin. Karena manusia terdiri dari tubuh yang mencerap dengan mata lahir dan roh yang mencerap dengan mata batin. Keduanya mempunyai rupa dan bentuk baik jelek maupun indah. Roh yang mencerap dengan mata batin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang mencerap dengan mata lahir. Karena itulah Allah memuliakan roh dengan menisbahkan kepada diri-Nya. Ia bersabda, ‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku menjadikan manusia dan’ tanah. Maka apabila telah kusempurna kan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya rohku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’(QS. Shad 71-72). Allah menunjukkan bahwa jasad berasal dari tanah dan roh dari Tuhan semesta alam. (Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab- berarti akhlak. Roh kita menjadi indah dengan akhlak yang baik dan menjadi buruk dengan akhlak yang buruk. Dalam teori akhlak dari Al-Ghazali, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki roh yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki roh yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai roh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Ketika turun ke bumi, karena berasal dari Mahasuci, roh kita dalam keadaan suci. Ketika kita kembali kepadanya, roh kita datang dalam bentuk bermacam-macam. Ketika pohon pisang lahir ke dunia, ia lahir sebagai pohon pisang. Ketika mati, ia kembali sebagai pohon pisang lagi. Ketika manusia lahir, ia lahir sebagai manusia. Ketika mati, ia kembali kepada Tuhan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk manusia saja. Ia dapat kembali dalam bentuk binatang, setan, atau cahaya.
Walhasil, untuk memperindah bentuk roh kita, kita harus melatihkan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita. Kita menyimpulkan prinsip ini dalam doa ketika bercermin. “Allahumma kama ahsanta khalqi fa hassin khuluqi.’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku).
Roh dalam Maut
Kita kutipkan di sini hadits yang panjang;
“Kami sedang mengantarkan jenazah di Baqi. Kemudian datanglah Nabi dan duduk bersama kami di dekat jenazah. Kami tundukkan kepala kami seakan-akan burung hinggap di atasnya. Ia berkata: Aku berlindung dari siksa kubur, 3X. Sesungguhnya manusia mukmin ketika hendak memasuki akhirat dan meninggalkan dunia, turunlah malaikat kepadanya dengan wajah yang bersinar seperti cahaya matahari. Mereka duduk di dekat rnayit sepanjang mata memandang. Lalu datanglah malakal maut dan duduk di dekat kepalanya dan berkata: Hai roh yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaannya. Maka keluarlah roh itu mengalir seperti rnengalirnya tetesan air dari mulut cerek. Malaikat maut mengambilnya. Apabila ia sudah mengambilnya, ia tidak membiarkannya berada di tangannya sekejap mata pun sampai ia menyimpannya di dalam kafan. Dari roh itu keluarlah bau harum semerbak memenuhi permukaan bumi. Para malaikat naik membawa roh itu. Setiap kali mereka rnelewati kelompok malaikat yang lain, mereka ditanya, ‘Siapa roh yang baik ini?’ Mereka menyebut Fulan bin Fulan dengan nama-nama yang indah yang diperolehnya di dunia. Ketika sampai di langit dunia, dibukakanlah pintu baginya. Pada setiap langit, malaikat mengantarkannya sampai ke langit berikutnya dan seterusnya sampai ke Allah Ta’ala.
Allah berfirman: ‘Tuliskan kitab hamba-Ku di tempat yang tinggi. Kembalikan dia ke bumi karena aku menciptakannya dari bumi, mengembalikannya ke bumi, dan mengeluarkannya dari bumi sekali lagi. Lalu rohnya dikembalikan ke jasadnya. Dua malaikat datang dan duduk bersamanya seraya berkata: Siapa Tuhanmu? Ia berkata: Tuhanku Allah. Apa agamamu? Agamaku Islam. Siapa laki-laki yang diutus kepadamu? Rasulullah. Darimana kamu mengetahui hal ini? Aku membaca Kitabullah, beriman kepadanya, dan membenarkannya. Seorang penyeru berseru dari langit: Benar hambaku. Hamparkan baginya tikar dari surga. Bukakan baginya pintu dari surga. Lalu angin dan semerbak surga datang kepadanya. Kuburan dilegakan seluas pandangan mata. Seseorang yang berwajah cantik datang kepadanya dengan baju yang indah dan bau yang harum. Ia berkata: Bergembiralah dengan apa-apa yang akan membahagiakan kamu. Inilah hari yang dijanjikan kepadamu. Mayit bertanya: siapakah kamu? Wajahmu wajah yang membawa kebaikan. Ia berkata: Saya. amal shalehmu. Ia berkata: Tuhanku, tegakkanlah hari kiamat supaya aku kembali kepada keluargaku dan kekayaanku.
Bila seorang kafir meninggalkan dunia dan memasuki akhirat, dari langit turunlah mialaikat berwajah buruk dan membawa kain yang buruk. Mereka duduk di dekat mayit sepanjang mata memandang. Lalu datanglah malakal maut dan duduk di dekat kepalanya dan berkata: Hai roh yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya.. Malaikat maut mencabut nyawanya seperti sisir besi mencabuti bulu yang basah. Mailakat maut mengambilnya. Apabila ia sudah mengarnbilnya, ia tidak membiarkannya berada di tangannya sekejap mata pun sampai ia menyimpannya di dalam kain buruk itu. Dari roh itu keluar bau yang lebih busuk dari bau bangkai dan memenuhi permukaan bumi. Para malaikat naik mernbawa roh itu. Setiap kali mereka melewati kelompok malaikat yang lain mereka ditanya. “Siapa roh yang buruk ini”? Mereka menjawab; Fulan bin Fulan dan menyebutnya dengan nama-nama yang buruk yang diperolehnya dari dunia. Ketika ia sampai ke langit dunia, ia minta dibukakan pintu langit, tetapi tidak dibukakan kepadanya. Kemudian. Rasulullah saw membaca ayat Al-Quran, “Sesingguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan kepada mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga, seperti tidak mungkinnya unta masuk ke lubang jarum. (QS. Al-A’raf 40)
Allah berfirman, ‘Tuliskan kitabnya di bumi yang paling rendah.’ Maka dilemparkanlah rohnya. Kemudian Nabi membaca ayat Al-Quran, ‘Dan barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS. AI-Haj 31) Lalu rohnya dikembalikan ke jasadnya. Dua malaikat datang dan duduk bersamanya, seraya berkata: Siapa Tuhanmu? Ia berkata: Ah, aku tidak tahu. Seorang penyeru berteriak dari langit: Bohong hambaku. Hamparkan kepadanya tikar dari api neraka. Bukakan baginya pintu neraka. Panas dan keringnya neraka mendatanginya. Kuburannya disempitkan sampai pecah tulang-tulangnya. Seseorang yang berwajah buruk, berpakaian buruk, berbau busuk datang kepadanya dan berkata: Terimalah berita yang menyusahkan kamu. Inilah hari yang telah dijanjikan kepadamu. Mayit bertanya, ‘Siapakah kamu? Wajahmu wajah yang membawa keburukan.’ Ia menjawab, ‘Aku amalmu yang buruk.’ Mayit itu berkata: Tuhanku jangan tegakkan hari kiamat. (Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Roh hal 44-45).
Wallahu’alambishawab
Oleh : Prof.Dr.KH. Jalaluddin Rakhmat
AKADEMI SILAT SENI GERAK MAKRIFAT (ILMU KEBATINAN)
AKADEMI SILAT SENI GERAK MAKRIFAT
ILMU PERSILATAN DAN PERUBATAN (KEROHANIAN) WARISAN SYEIKH PENDITA MAHAGURU ADI PUTRA, SUNAN KALIJAGA DAN TOKKU PALOH
ILMU KEROHANIAN DALAM KATEGORI ILMU GHAIB ( SILAT BATIN SUNAN KALIJAGA@GERAK FAQIR) & ILMU SYAHADAH (SYAHADAT TOKKU PALOH@TITIK 9)
ILMU PERSILATAN DAN PERUBATAN (KEROHANIAN) WARISAN SYEIKH PENDITA MAHAGURU ADI PUTRA, SUNAN KALIJAGA DAN TOKKU PALOH
ILMU KEROHANIAN DALAM KATEGORI ILMU GHAIB ( SILAT BATIN SUNAN KALIJAGA@GERAK FAQIR) & ILMU SYAHADAH (SYAHADAT TOKKU PALOH@TITIK 9)
Monday, October 31, 2011
BELAJAR DARI WEJANGAN NABI KHIDIR PADA SUNAN KALIJAGA
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang lain itu sebagai "kaca benggala". Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir.
Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki
Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.
mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Sumber : http://kawruh-kejawen.blogspot.com
Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir.
Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki
Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.
mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Sumber : http://kawruh-kejawen.blogspot.com
PERJALANAN SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI
CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI
Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.
Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung makrifatullah.
Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil:
PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)
Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA.
MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun
Sumber :
SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI http://wongalus.wordpress.com/category/sunan-kalijaga-mencari-guru-sejati/
Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.
Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri
Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil:
PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)
Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA.
MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun
Sumber :
SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI http://wongalus.wordpress.com/category/sunan-kalijaga-mencari-guru-sejati/
SEJATINYA GURU SEJATI
HAKEKAT GURU SEJATI
Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.
Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.
SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER
Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….
MENGOLAH GURU SEJATI
Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.
Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.
TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI
Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.
PENTINGKAH GURU SEJATI ?
Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.
ANASIR ASING
Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu;
Oleh Tejabuwana ( Warisan Adiluhung )
Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.
Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.
SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER
Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….
MENGOLAH GURU SEJATI
Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.
Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.
TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI
Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.
PENTINGKAH GURU SEJATI ?
Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.
ANASIR ASING
Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu;
Oleh Tejabuwana ( Warisan Adiluhung )
SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR ATAU SYEH SITI JENAR ( 5 ) - AKHIR
Kekhalifahan pertama Jawa, yang selama ini dicita-citakan oleh Kaum Putihan berhasil berdiri. Raden Patah atau Tan Eng Hwat dikukuhkan sebagai khalifah pertama Demak Bintara dengan gelar Sultan Syah 'Alam Akbar Jiem-Boenningrat ( Nama Jiem-Boen, adalah nama China. Saya belum tahu pasti darimana dan mengapa nama itu diambil. : Damar Shashangka )
Praktis, Raden Patah mulai berkuasa dari tahun 1479 Masehi. Begitu naik tahta, wilayah negara Demak Bintara yang dulu diperkirakan kurang lebihnya separuh bekas wilayah Majapahit, terutama wilayah bagian barat yang mayoritas sudah banyak penduduknya yang memeluk Islam, ternyata perkiraan itu salah!
Daerah-daerah yang dapat dikuasai oleh Demak, yang terang-terangan dengan suka rela mengakui kedaulatan Demak Bintara, ternyata hanya sebatas Jawa Tengah sekarang dan pesisir utara Jawa Timur hingga ke Pulau Madura. Selebihnya, tidak ada satu Kadipaten-pun yang mau tunduk tanpa syarat.
Yang sangat mencolok mata, begitu Pangeran Cakrabhuwana meletakkan jabatannya sebagai Akuwu (setingkat Adipati ) di Caruban Larang pada tahun 1479, dan pada tahun itu pula Sunan Gunungjati diangkat sebagai pengganti beliau bahkan dinikahkan dengan putri beliau Nyi Pakungwati, Caruban Larang, secara tegas menolak menjadi wilayah Demak Bintara! Sunan Gunungjati berdalih, secara historis, Caruban Larang dari dulu bukan wilayah Majapahit, tapi wilayah Pajajaran. Dan Caruban Larang berhak menentukan nasibnya sendiri.
Syeh Siti Jenar diam-diam prihatin melihat kekonyolan mereka-mereka yang mengaku sebagai pemimpin umat ini. Namun, ketegangan demi ketegangan yang terjadi antar kaum Putihan sendiri, dita,bah operasi-operasi militer yang harus dilakukan oleh pemerintahan Demak Bintara, membuat Syeh Siti Jenar, sedikit banyak luput dari perhatian Dewan Wali.
Dewan Wali tengah sibuk, tengah kewalahan menghadapi perlawanan-perlawanan sisa-sisa kekuatan Hindhu-Buddha yang beberapa daerah masih nekad melakukan perlawanan. Seandainya Prabhu Brawijaya, mau mengkoordinasikan setiap kekuatan sisa-sisa Majapahit ini, maka Demak Bintara tak akan bertahan lama. Cuma yang dikhawatirkan oleh Sunan Kalijaga, jika memang pengkoordinasian kekuatan itu benar-benar dilakukan, bukan hanya Demak Bintara, bahkan seluruh umat muslim yang kontra Demak-pun jadi terkena imbasnya.
Banjir darah tidak hanya akan terjadi di Jawa, tapi diseluruh wilayah Majapahit, jika sampai Prabhu Brawijaya mengeluarkan komando penyatuan sisa-sisa kekuatan itu. Demi kemanusiaan, yang 'sadar', harus mengalah.
Disisi lain-pun, seandainya Raden Patah tidak memandang Dewan Wali Sangha, pasti dia akan melakukan invasi ke Caruban Larang yang kini, setelah dipimpin oleh Sunan Gunungjati, berubah nama menjadi Carbon Girang. Namun mengingat kedudukan kekhalifahan Islam di Jawa masih sangat lemah dan butuh kesatu paduan, untuk sementara Raden Patah memendam niatannya.
Semua dinamika politik ini, tak lepas dari pengamatan Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar. Pada awal berdirinya Demak, Sunan Kalijaga yang pernah berjanji kepada Prabhu Brawijaya untuk ikut terjun ke kancah perpolitikan, demi untuk bisa ikut menentukan arah kebijakan Demak Bintara ( baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), pada waktu itu memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan dulu. Beliau sekarang lebih terfokus untuk berdakwah keliling, dari satu kota ke kota lain, terutama di pedalaman Jawa demi untuk menghindari sewaktu-waktu Dewan Wali Sangha meminta bantuannya untuk menundukkan daerah tertentu dengan meminjam wibawa beliau.
Sedangkan Syeh Siti Jenar, lebih memfokuskan diri untuk mengajar para santri-santrinya. Terdapat beberapa nama santri beliau yang terkenal, diantaranya Lontang Asmara dan Sunan Panggung.
Waktu berjalan cepat. Pemerintahan Demak Bintara terus disibukkan dengan operasi-operasi militer yang tak kunjung selesai. Praktis, kesejahteraan masyarakat menjadi kurang diperhatikan. Rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, dibahaw naungan Ke-khalifah-an yang katanya pasti akan memberikan keberkahan, ternyata, malah membawa ke ambang ketidak pastian.
Stabilitas kacau balau. Roda perekonomian-pun terganggu. Banyak investor yang sudah pada hengkang dari Jawa. Jawa setelah Majapahit jatuh, bukannya berubah menjadi surga, namun malah menjadi neraka.
Dan konyolnya, pada tahun 1487 Masehi, Sunan Giri Kedhaton memproklamirkan berdirinya kembali Ke-khalifah-an Giri yang dulu pernah dihancurkan oleh Majapahit ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka).
Raden Patah, dibuat pusing karenanya.
Carut marut perpolitikan di Jawa membuat Dewan Wali melupakan kasus Syeh Siti Jenar dalam jangka waktu yang lama. Kini ditambah lagi, Carbon Girang mulai ikut-ikutan mencoba menggoyang Pajajaran.
Tahta Pajajaran, telah berganti dari Prabhu Silih Wangi atau Prabhu Niskala Wastu Kancana kepada Prabhu Tohaan sejak tahun 1475. Sunan Gunungjati, mendapati kakeknya, Prabhu Silih Wangi telah lengser, maka kini dia tak lagi sungkan-sungkan untuk mengadakan penyerangan ke wilayah Pajajaran. Namun, Pajajaran sangat kuat dan tertutup. Sehingga, baik invasi militer maupun taktik infiltrasi seperti yang pernah dilakukan kepada Majapahit, tak mampu menembus Pajajaran. Padahal Carbon Girang dibantu oleh Demak Bintara dan Kadipaten Banten. ( Banten adalah wilayah Carbon Girang. Dipimpin oleh Pangeran Sebakingkin, putra Sunan Gunungjati dengan Nyi Kawungten, putri Adipati Banten. Pangeran Sebakingkin kelak dikenal dengan gelar Maulana Hassanuddin. : Damar Shashangka).
Kegagalan taktik infiltrasi sebagian besar dikarenakan di Pajajaran, tidak banyak pejabatnya yang memeluk agama Islam seperti halnya Majapahit dulu. Bahkan diam-diam, beberapa sisa-sisa lasykar Majapahit, menyokong Pajajaran.
Jalan satu-satunya untuk memperlemah Pajajaran hanyalah menguasai pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa Barat, dimana dari pelabuhan-pelabuhan ini, roda perekonomian Pajajaran sebagian besar tertunjang karenanya. Seluruh pesisir utara Jawa Barat, dikuasai dengan paksa oleh Carbon Girang. Praktis, jika dengan kekuatan militer, Carbon Girang tidak mampu menembus Pajajaran, maka jalan satu-satunya adalah melakukan blokade ekonomi!
Melihat perkembangan politik Caruban Larang yang kini berganti nama Carbon Girang sedemikian panas, Syeh Siti Jenar punya niatan untuk memindahkan pesantrennya ke pedalaman Jawa. Beliau berniat untuk menyingkir ke basis kaum Abangan. Carbon Girang hendak beliau tinggalkan. Namun, Syeh Siti Jnear, bukanlah tokoh yang dekat dengan kekuasaan seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau kesulitan melobi hunian baru untuk tempat kepindahan pesantrennya.
Seandainya beliau tidak memikirkan nasib para pendukungnya, bisa saja beliau meninggalkan Jawa. Namun, itu bukan watak orang yang sudah 'tercerahkan'.
Menginjak awal tahun 1490 Masehi, ketika Pajajaran diperintah oleh Sang Raja Jayadewata (1482-1521 M), Ki Ageng Kebo Kenanga, atau yang terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah, sekarang : Damar Shashangka), yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, diam-diam menawarkan daerah Pengging sebagai tempak hunian baru kepindahan pesantren beliau.
Mendengar hal itu, Sunan Kalijaga, yang pernah mendapat amanah agar menjaga trah Pengging dan trah Tarub dari Prabhu Brawijaya ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), segera memperingatkan Syeh Siti Jenar agar menolak tawaran tersebut. Mengingat penguasa Demak Bintara masih menganggap trah Pengging adalah bahaya laten bagi Demak Bintara. Karena memang sesungguhnya tahta Majapahit, harus jatuh ke trah Pengging, bukan ke Raden Patah. Jika sampai pemerintah Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, dapat dipastikan, Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging, akan dicurigai tengah membangun kembali kekuatan politik Majapahit.
Syeh Siti Jenar yang memang tidak paham peta politik Jawa, segera mempertimbangkan akan hal itu. Dan segera, beliau menolak tawaran Ki Ageng Pengging yang masih muda tersebut. Namun, Syeh Siti Jenar tidak bisa mengelak untuk menyukai sosok Ki Ageng Pengging, yang walaupun masih muda, namun sangat tinggi kedalaman 'spiritualitas'-nya. Syeh Siti Jenar dibuat kagug karenanya. Tidak hanya beliau, Sunan Kalijaga-pun juga mengagumi pemuda ini.
Walau terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah 'spiritualitas'. Walaupun Ki Ageng Pengging pemeluk Shiva Buddha dan Syeh Siti Jenar pemeluk Islam, tapi pada ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami adalah sama.
Seringkali Syeh Siti Jenar memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. Beliau sudah menganggap, pemuda ini adalah anaknya sendiri, tiada beda dengan Syeh Datuk Pardhun, putra Syeh Siti Jenar sendiri.
Begitu juga Ki Ageng Pengging, juga sudah menganggap Syeh Siti Jenar seolah seperti ayah kandungnya. Maklum, Adipati Handayaningrat IV, ayah kandung Ki Ageng Penggging, memang sudah wafat.
Kedekatan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Siti Jenar, menarik minat Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging, untuk berguru kepada Syeh Siti Jenar.
Disini perlu diperjelas, yang menjadi murid Syeh Siti Jenar sebenarnya adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging, walau dekat dengan Sang Syeh, tapi tetap memeluk Shiva Buddha. Hubungan yang indah antara sahabat, ayah angkat, murid dan Guru ini memang seringkali menimbulkan salah pengertian. Kelak, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang, murid-murid Syeh Siti Jenar.
Namun, gerak-gerik Ki Ageng Pengging, senantiasa dimonitor oleh mata-mata Demak Bintara. Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging telah masuk ke hadapan Raden Patah, Sultan Demak. Hal ini, perlu diwaspadai. Sebagai seorang pemimpin politik tertinggi Demak, mau tak mau, Raden Patah harus mencurigai kegiatan Ki Ageng Pengging.
Dan laporan serupa, sampai juga ke Kekhalifahan Giri. Sunan Giri, walau telah menjabat sebagai Sultan Giri, namun masih tetap juga menjabat sebagai Pemimpin Dewan Wali Sangha. Kerancauan ini, otomatis membuat Demak Bintara, walau bukan wilayah Giri Kedhaton, namun mau tak mau harus tetap tunduk pada fatwa-fatwa Sunan Giri. Dan fatwa-fatwa Sunan Giri, sangat tipis bedanya dengan perintah-perintah beliau sebagai seorang Sultan. Kalau direnungkan kembali, sebenarnya Raden Patah, tidak memiliki wewenang yang sesungguhnya sebagai Sultan Demak.
Hal inilah yang memicu kelak dikemudian hari, pada masa sesudah Kekhalifahan Demak jatuh, banyak penguasa Kekhalifahan Jawa yang berusaha menyerang Giri Kedhaton dengan kekuatan militer. Karena bagaimanapun juga, sebuah pemerintahan tidak akan bisa mementukan kebijakan secara bebas jika selalu diintervensi penguasa pemerintahan lain dengan berselimutkan fatwa.
Namun, usaha-usaha yang rasional seperti ini, malah dicerca habis-habisan oleh Kaum Putihan dikemudian hari. Mereka menjelek-jelekkan Sultan Hadiwijaya ( Kesultanan Pajang ) dan Panembahan Senopati ( Kesultanan Mataram ) yang menyerang Giri. Pada buku-buku kaum Putihan, yang melimpah ruah dipasaran, kedua penguasa ini sangat-sangat dipersalahkan.
Kelak pada tahun 1679 Masehi, pada saat Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat II, Giri Kedhaton berhasil dihancurkan.
Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut.
Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara.
Pasukan gabungan ini lantas menuju Pesantren Krendhasawa, dimana Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar bermukim. Para santri geger melihat kedatangan pasukan gabungan ini. Seluruh santri diultimatum untuk meninggalkan area pondok Pesantren. Namun, perlawanan terjadi. Perlawanan yang takseberapa. Namun jatuh juga korban dipihak santri Syeh Siti Jenar.
Pondok Pesantren Krendhasawa dikepung ketat. Setelah pasukan Demak Bintara dan Carbon berhasil menguasai keadaan, Sunan Kudus, Senopati Demak Bintara, segera masuk ke Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar tinggal. Kedua ulama yang berseberangan ini bertemu dalam situasi tegang! Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap. Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.
Pondok Pesantren Krendhasawa selama beberapa hari dalam situasi mencekam. Syeh Siti Jenar masih ada didalam sana. Beliautidak diperkenankan keluar dari kediaman beliau. Status beliau sekarang adalah tahanan negara! Beliau akan diadili di Cirebon, dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran menyimpang kepada ummat Islam. Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian untuk ditangkap!
Tempat pengadilan belum ditentukan, menunggu kedatangan para Wali dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang tengah dalam perjalanan menuju Carbon Girang.
Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang lebih dahulu. Diiringi dengan beberapa santri beliau. Sunan Kalijaga, meminta kepada Sunan Kudus agar memperkenankan dirinya bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.
Sunan Kalijaga berhasil menemui Syeh Siti Jenar, sosok yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Meteka berdua bertemu dalam situasi memilukan.
Syeh Siti Jenar, tetap terlihat tegar. Bahkan beliau berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal.
Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati ( Istana Kasultanan Carbon bernama Pakungwati, mengambil nama dari istri Sunan Gunungjati, Nyi Pakungwati : Damar Shashangka). Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang dengan mengambil Masjid Agung Sang Ciptarasa sebagai tempatnya.
Syeh Lemah Abang, diiringi Sunan Kalijaga, dengan dikawal pasukan Demak dan Carbon, segera menuju Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pengawalan sangat ketat. Seluruh masyarakat Carbon Girang mengawasi dengan hati tercekam.
Ada beberapa kejadian yang tak terduga, beberapa santri Syeh Lemah Abang melakukan perlawanan hendak menerobos blokade militer yang tengah mengawal Sang Syeh. Mereka berhasil ditangkap. Syeh Lemah Abang, ditengah kerumunan pasukan dan masyarakat yang hendak menyaksikan, segera memerintahkan agar seluruh santrinya tenang dan ridlo'. Seluruh pendukungnya diminta agar berserah diri kepada Dzat Penguasa 'Alam.
Di Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.
Pengadilan berjalan a lot dan lamban. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi disana. Karena pengadilan ini bersifat tertutup. Situasi Masjid Agung Sang Ciptarasa sangat mencekam. Penjagaan ketat terlihat disana-sini. Pasukan Demak, dibantu Pasukan Carbon, melakukan penjagaan berlapis-lapis. Tidak ada yang boleh memasuki areal Masjid. Siapapun juga!
Hampir seharian penuh, tak ada perubahan situasi. Tetap mencekam. Dan menjelang malam tiba, nampak Syeh Lemah Abang, digiring ke halaman Masjid Sang Ciptarasa. Pasukan semakin diperketat.
Dihalaman Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman mati. Syeh Lemah Abang, dengan senyum dibibirnya, dengan kepasrahan total kepada Dzat Yang Meliputi Semesta, menyambut detik-detik terakhir hidupnya.
Sunan Kudus, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Kepala sudah terlepas dari badan. Darah menyemburat! Dan Syeh Lemah Abang, wafat saat itu juga!
Namun terjadi keganjilan, diareal Masjid Sang Ciptarasa, begitu Syeh Lemah Abang terpenggal kepalanya, mendadak sontak tercium aroma wangi semerbak yang aneh. Wangi yang bukan datang dari alam manusia. Wangi yang menyeruak dari alam Illahi!
Seluruh yang hadir tercekat. Para Wali yang menyaksikan jalannya eksekusi mati keheranan. Sunan Kudus tertegun. Para Pasukan yang bertugas sebagai penjaga pelaksanaan eksekusi, miris dan ketakutan.
Bahkan lamat-lamat, Para Wali melihat samar dan halus, ditengah-tengah darah yang menggenang disekitar jasad Syeh Siti Jenar, lamat-lamat, muncul empat huruf yang jika dibaca akan berbunyi ALLAH! Cuma sebentar. Dan kejadian gaib ini, sudah membuat beberapa Wali terjajar halus kebelakang!
Kala itulah, mendadak Sunan Kalijaga mengalami 'Peningkatan Kesadaran'. Batinnya sangat peka. Ada sebuah kekuatan illahi yang menarik 'Kesadaran' beliau. Dan Sunan Kalijaga tergetar begitu mendengar suara lamat-lamat, yang syahdu, berasal dari dalam jiwanya. Suara itu adalah suara Syeh Lemah Abang,...
Inilah yang beliau dengar..............
Terjemahan :
1.Dari yang sampai kepada Jalan Agung,
Meninggalkan Pesan Sejati,
Wahai manusia semua,
Pada saat kematian menjelang,
Tekad yang kuat (menggapai Kesempurnaan Sejati ),
Dan keteguhan kehendak (menggapai Kesempurnaan Sejati )..
2.Tidak didapatkan karena hanya mendengar semata,
Terkecoh ajaran berbelit-belit,
Mementingkan keutamaan tubuh (Ilmu Fiqh),
Apa yang tertulis dipercayai begitu saja,
Padahal itu hanya Ilmu Etika,
Belum menyentuh apa yang sesungguhnya.
3.Maka jangan terjebak syari'at,
Sangat-sangat mengganggu pencapaian Kesejatian,
Terlalu menimbulkan keragu-raguan dan ketidak pastian,
Walau tidak yakin benar tetap saja kamu jalani,
(Fiqh) itu Ilmu Duniawi,
Ketika meninggal tidak berguna.
4.Sesungguh-sungguhnya Ilmu,
Berada didalam Kesadaranmu sendiri,
Tingkatkan Kesadaranmu itu,
Satukan dengan Kesadaran Sejati,
Kesempurnaan Ilmu Sesungguhnya,
Akan kamu dapatkan dalam keadaan ENENG ( DIAM ) ENING ( HENING).
Sunan Kalijaga menitikkan air mata haru mendapati fenomena luar biasa itu. Dan segera, beliau memerintahkan pasukan Demak, merawat jasad Sang Kekasih Allah tersebut.
Sunan Kudus terpaku. Tak mampu berucap sepatah kata-pun.
Jenasah beliau, dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah beliau dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.
Keharuman nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, tidak bisa dihapuskan begitu saja dari benak masyarakat Jawa. Walaupun demikian hebat fitnahan yang dilancarkan kepada beliau sesudah beliau wafat, namun bagi masyarakat Jawa, diam-diam Syeh Siti Jenar tetap sebagai tokoh Agung.
(Tamat)
(13 November 2009, by : Damar Shashangka).
WARISAN ADILUHUNG
Praktis, Raden Patah mulai berkuasa dari tahun 1479 Masehi. Begitu naik tahta, wilayah negara Demak Bintara yang dulu diperkirakan kurang lebihnya separuh bekas wilayah Majapahit, terutama wilayah bagian barat yang mayoritas sudah banyak penduduknya yang memeluk Islam, ternyata perkiraan itu salah!
Daerah-daerah yang dapat dikuasai oleh Demak, yang terang-terangan dengan suka rela mengakui kedaulatan Demak Bintara, ternyata hanya sebatas Jawa Tengah sekarang dan pesisir utara Jawa Timur hingga ke Pulau Madura. Selebihnya, tidak ada satu Kadipaten-pun yang mau tunduk tanpa syarat.
Yang sangat mencolok mata, begitu Pangeran Cakrabhuwana meletakkan jabatannya sebagai Akuwu (setingkat Adipati ) di Caruban Larang pada tahun 1479, dan pada tahun itu pula Sunan Gunungjati diangkat sebagai pengganti beliau bahkan dinikahkan dengan putri beliau Nyi Pakungwati, Caruban Larang, secara tegas menolak menjadi wilayah Demak Bintara! Sunan Gunungjati berdalih, secara historis, Caruban Larang dari dulu bukan wilayah Majapahit, tapi wilayah Pajajaran. Dan Caruban Larang berhak menentukan nasibnya sendiri.
Syeh Siti Jenar diam-diam prihatin melihat kekonyolan mereka-mereka yang mengaku sebagai pemimpin umat ini. Namun, ketegangan demi ketegangan yang terjadi antar kaum Putihan sendiri, dita,bah operasi-operasi militer yang harus dilakukan oleh pemerintahan Demak Bintara, membuat Syeh Siti Jenar, sedikit banyak luput dari perhatian Dewan Wali.
Dewan Wali tengah sibuk, tengah kewalahan menghadapi perlawanan-perlawanan sisa-sisa kekuatan Hindhu-Buddha yang beberapa daerah masih nekad melakukan perlawanan. Seandainya Prabhu Brawijaya, mau mengkoordinasikan setiap kekuatan sisa-sisa Majapahit ini, maka Demak Bintara tak akan bertahan lama. Cuma yang dikhawatirkan oleh Sunan Kalijaga, jika memang pengkoordinasian kekuatan itu benar-benar dilakukan, bukan hanya Demak Bintara, bahkan seluruh umat muslim yang kontra Demak-pun jadi terkena imbasnya.
Banjir darah tidak hanya akan terjadi di Jawa, tapi diseluruh wilayah Majapahit, jika sampai Prabhu Brawijaya mengeluarkan komando penyatuan sisa-sisa kekuatan itu. Demi kemanusiaan, yang 'sadar', harus mengalah.
Disisi lain-pun, seandainya Raden Patah tidak memandang Dewan Wali Sangha, pasti dia akan melakukan invasi ke Caruban Larang yang kini, setelah dipimpin oleh Sunan Gunungjati, berubah nama menjadi Carbon Girang. Namun mengingat kedudukan kekhalifahan Islam di Jawa masih sangat lemah dan butuh kesatu paduan, untuk sementara Raden Patah memendam niatannya.
Semua dinamika politik ini, tak lepas dari pengamatan Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar. Pada awal berdirinya Demak, Sunan Kalijaga yang pernah berjanji kepada Prabhu Brawijaya untuk ikut terjun ke kancah perpolitikan, demi untuk bisa ikut menentukan arah kebijakan Demak Bintara ( baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), pada waktu itu memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan dulu. Beliau sekarang lebih terfokus untuk berdakwah keliling, dari satu kota ke kota lain, terutama di pedalaman Jawa demi untuk menghindari sewaktu-waktu Dewan Wali Sangha meminta bantuannya untuk menundukkan daerah tertentu dengan meminjam wibawa beliau.
Sedangkan Syeh Siti Jenar, lebih memfokuskan diri untuk mengajar para santri-santrinya. Terdapat beberapa nama santri beliau yang terkenal, diantaranya Lontang Asmara dan Sunan Panggung.
Waktu berjalan cepat. Pemerintahan Demak Bintara terus disibukkan dengan operasi-operasi militer yang tak kunjung selesai. Praktis, kesejahteraan masyarakat menjadi kurang diperhatikan. Rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, dibahaw naungan Ke-khalifah-an yang katanya pasti akan memberikan keberkahan, ternyata, malah membawa ke ambang ketidak pastian.
Stabilitas kacau balau. Roda perekonomian-pun terganggu. Banyak investor yang sudah pada hengkang dari Jawa. Jawa setelah Majapahit jatuh, bukannya berubah menjadi surga, namun malah menjadi neraka.
Dan konyolnya, pada tahun 1487 Masehi, Sunan Giri Kedhaton memproklamirkan berdirinya kembali Ke-khalifah-an Giri yang dulu pernah dihancurkan oleh Majapahit ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka).
Raden Patah, dibuat pusing karenanya.
Carut marut perpolitikan di Jawa membuat Dewan Wali melupakan kasus Syeh Siti Jenar dalam jangka waktu yang lama. Kini ditambah lagi, Carbon Girang mulai ikut-ikutan mencoba menggoyang Pajajaran.
Tahta Pajajaran, telah berganti dari Prabhu Silih Wangi atau Prabhu Niskala Wastu Kancana kepada Prabhu Tohaan sejak tahun 1475. Sunan Gunungjati, mendapati kakeknya, Prabhu Silih Wangi telah lengser, maka kini dia tak lagi sungkan-sungkan untuk mengadakan penyerangan ke wilayah Pajajaran. Namun, Pajajaran sangat kuat dan tertutup. Sehingga, baik invasi militer maupun taktik infiltrasi seperti yang pernah dilakukan kepada Majapahit, tak mampu menembus Pajajaran. Padahal Carbon Girang dibantu oleh Demak Bintara dan Kadipaten Banten. ( Banten adalah wilayah Carbon Girang. Dipimpin oleh Pangeran Sebakingkin, putra Sunan Gunungjati dengan Nyi Kawungten, putri Adipati Banten. Pangeran Sebakingkin kelak dikenal dengan gelar Maulana Hassanuddin. : Damar Shashangka).
Kegagalan taktik infiltrasi sebagian besar dikarenakan di Pajajaran, tidak banyak pejabatnya yang memeluk agama Islam seperti halnya Majapahit dulu. Bahkan diam-diam, beberapa sisa-sisa lasykar Majapahit, menyokong Pajajaran.
Jalan satu-satunya untuk memperlemah Pajajaran hanyalah menguasai pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa Barat, dimana dari pelabuhan-pelabuhan ini, roda perekonomian Pajajaran sebagian besar tertunjang karenanya. Seluruh pesisir utara Jawa Barat, dikuasai dengan paksa oleh Carbon Girang. Praktis, jika dengan kekuatan militer, Carbon Girang tidak mampu menembus Pajajaran, maka jalan satu-satunya adalah melakukan blokade ekonomi!
Melihat perkembangan politik Caruban Larang yang kini berganti nama Carbon Girang sedemikian panas, Syeh Siti Jenar punya niatan untuk memindahkan pesantrennya ke pedalaman Jawa. Beliau berniat untuk menyingkir ke basis kaum Abangan. Carbon Girang hendak beliau tinggalkan. Namun, Syeh Siti Jnear, bukanlah tokoh yang dekat dengan kekuasaan seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau kesulitan melobi hunian baru untuk tempat kepindahan pesantrennya.
Seandainya beliau tidak memikirkan nasib para pendukungnya, bisa saja beliau meninggalkan Jawa. Namun, itu bukan watak orang yang sudah 'tercerahkan'.
Menginjak awal tahun 1490 Masehi, ketika Pajajaran diperintah oleh Sang Raja Jayadewata (1482-1521 M), Ki Ageng Kebo Kenanga, atau yang terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah, sekarang : Damar Shashangka), yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, diam-diam menawarkan daerah Pengging sebagai tempak hunian baru kepindahan pesantren beliau.
Mendengar hal itu, Sunan Kalijaga, yang pernah mendapat amanah agar menjaga trah Pengging dan trah Tarub dari Prabhu Brawijaya ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), segera memperingatkan Syeh Siti Jenar agar menolak tawaran tersebut. Mengingat penguasa Demak Bintara masih menganggap trah Pengging adalah bahaya laten bagi Demak Bintara. Karena memang sesungguhnya tahta Majapahit, harus jatuh ke trah Pengging, bukan ke Raden Patah. Jika sampai pemerintah Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, dapat dipastikan, Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging, akan dicurigai tengah membangun kembali kekuatan politik Majapahit.
Syeh Siti Jenar yang memang tidak paham peta politik Jawa, segera mempertimbangkan akan hal itu. Dan segera, beliau menolak tawaran Ki Ageng Pengging yang masih muda tersebut. Namun, Syeh Siti Jenar tidak bisa mengelak untuk menyukai sosok Ki Ageng Pengging, yang walaupun masih muda, namun sangat tinggi kedalaman 'spiritualitas'-nya. Syeh Siti Jenar dibuat kagug karenanya. Tidak hanya beliau, Sunan Kalijaga-pun juga mengagumi pemuda ini.
Walau terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah 'spiritualitas'. Walaupun Ki Ageng Pengging pemeluk Shiva Buddha dan Syeh Siti Jenar pemeluk Islam, tapi pada ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami adalah sama.
Seringkali Syeh Siti Jenar memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. Beliau sudah menganggap, pemuda ini adalah anaknya sendiri, tiada beda dengan Syeh Datuk Pardhun, putra Syeh Siti Jenar sendiri.
Begitu juga Ki Ageng Pengging, juga sudah menganggap Syeh Siti Jenar seolah seperti ayah kandungnya. Maklum, Adipati Handayaningrat IV, ayah kandung Ki Ageng Penggging, memang sudah wafat.
Kedekatan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Siti Jenar, menarik minat Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging, untuk berguru kepada Syeh Siti Jenar.
Disini perlu diperjelas, yang menjadi murid Syeh Siti Jenar sebenarnya adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging, walau dekat dengan Sang Syeh, tapi tetap memeluk Shiva Buddha. Hubungan yang indah antara sahabat, ayah angkat, murid dan Guru ini memang seringkali menimbulkan salah pengertian. Kelak, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang, murid-murid Syeh Siti Jenar.
Namun, gerak-gerik Ki Ageng Pengging, senantiasa dimonitor oleh mata-mata Demak Bintara. Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging telah masuk ke hadapan Raden Patah, Sultan Demak. Hal ini, perlu diwaspadai. Sebagai seorang pemimpin politik tertinggi Demak, mau tak mau, Raden Patah harus mencurigai kegiatan Ki Ageng Pengging.
Dan laporan serupa, sampai juga ke Kekhalifahan Giri. Sunan Giri, walau telah menjabat sebagai Sultan Giri, namun masih tetap juga menjabat sebagai Pemimpin Dewan Wali Sangha. Kerancauan ini, otomatis membuat Demak Bintara, walau bukan wilayah Giri Kedhaton, namun mau tak mau harus tetap tunduk pada fatwa-fatwa Sunan Giri. Dan fatwa-fatwa Sunan Giri, sangat tipis bedanya dengan perintah-perintah beliau sebagai seorang Sultan. Kalau direnungkan kembali, sebenarnya Raden Patah, tidak memiliki wewenang yang sesungguhnya sebagai Sultan Demak.
Hal inilah yang memicu kelak dikemudian hari, pada masa sesudah Kekhalifahan Demak jatuh, banyak penguasa Kekhalifahan Jawa yang berusaha menyerang Giri Kedhaton dengan kekuatan militer. Karena bagaimanapun juga, sebuah pemerintahan tidak akan bisa mementukan kebijakan secara bebas jika selalu diintervensi penguasa pemerintahan lain dengan berselimutkan fatwa.
Namun, usaha-usaha yang rasional seperti ini, malah dicerca habis-habisan oleh Kaum Putihan dikemudian hari. Mereka menjelek-jelekkan Sultan Hadiwijaya ( Kesultanan Pajang ) dan Panembahan Senopati ( Kesultanan Mataram ) yang menyerang Giri. Pada buku-buku kaum Putihan, yang melimpah ruah dipasaran, kedua penguasa ini sangat-sangat dipersalahkan.
Kelak pada tahun 1679 Masehi, pada saat Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat II, Giri Kedhaton berhasil dihancurkan.
Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut.
Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara.
Pasukan gabungan ini lantas menuju Pesantren Krendhasawa, dimana Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar bermukim. Para santri geger melihat kedatangan pasukan gabungan ini. Seluruh santri diultimatum untuk meninggalkan area pondok Pesantren. Namun, perlawanan terjadi. Perlawanan yang takseberapa. Namun jatuh juga korban dipihak santri Syeh Siti Jenar.
Pondok Pesantren Krendhasawa dikepung ketat. Setelah pasukan Demak Bintara dan Carbon berhasil menguasai keadaan, Sunan Kudus, Senopati Demak Bintara, segera masuk ke Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar tinggal. Kedua ulama yang berseberangan ini bertemu dalam situasi tegang! Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap. Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.
Pondok Pesantren Krendhasawa selama beberapa hari dalam situasi mencekam. Syeh Siti Jenar masih ada didalam sana. Beliautidak diperkenankan keluar dari kediaman beliau. Status beliau sekarang adalah tahanan negara! Beliau akan diadili di Cirebon, dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran menyimpang kepada ummat Islam. Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian untuk ditangkap!
Tempat pengadilan belum ditentukan, menunggu kedatangan para Wali dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang tengah dalam perjalanan menuju Carbon Girang.
Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang lebih dahulu. Diiringi dengan beberapa santri beliau. Sunan Kalijaga, meminta kepada Sunan Kudus agar memperkenankan dirinya bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.
Sunan Kalijaga berhasil menemui Syeh Siti Jenar, sosok yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Meteka berdua bertemu dalam situasi memilukan.
Syeh Siti Jenar, tetap terlihat tegar. Bahkan beliau berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal.
Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati ( Istana Kasultanan Carbon bernama Pakungwati, mengambil nama dari istri Sunan Gunungjati, Nyi Pakungwati : Damar Shashangka). Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang dengan mengambil Masjid Agung Sang Ciptarasa sebagai tempatnya.
Syeh Lemah Abang, diiringi Sunan Kalijaga, dengan dikawal pasukan Demak dan Carbon, segera menuju Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pengawalan sangat ketat. Seluruh masyarakat Carbon Girang mengawasi dengan hati tercekam.
Ada beberapa kejadian yang tak terduga, beberapa santri Syeh Lemah Abang melakukan perlawanan hendak menerobos blokade militer yang tengah mengawal Sang Syeh. Mereka berhasil ditangkap. Syeh Lemah Abang, ditengah kerumunan pasukan dan masyarakat yang hendak menyaksikan, segera memerintahkan agar seluruh santrinya tenang dan ridlo'. Seluruh pendukungnya diminta agar berserah diri kepada Dzat Penguasa 'Alam.
Di Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.
Pengadilan berjalan a lot dan lamban. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi disana. Karena pengadilan ini bersifat tertutup. Situasi Masjid Agung Sang Ciptarasa sangat mencekam. Penjagaan ketat terlihat disana-sini. Pasukan Demak, dibantu Pasukan Carbon, melakukan penjagaan berlapis-lapis. Tidak ada yang boleh memasuki areal Masjid. Siapapun juga!
Hampir seharian penuh, tak ada perubahan situasi. Tetap mencekam. Dan menjelang malam tiba, nampak Syeh Lemah Abang, digiring ke halaman Masjid Sang Ciptarasa. Pasukan semakin diperketat.
Dihalaman Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman mati. Syeh Lemah Abang, dengan senyum dibibirnya, dengan kepasrahan total kepada Dzat Yang Meliputi Semesta, menyambut detik-detik terakhir hidupnya.
Sunan Kudus, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Kepala sudah terlepas dari badan. Darah menyemburat! Dan Syeh Lemah Abang, wafat saat itu juga!
Namun terjadi keganjilan, diareal Masjid Sang Ciptarasa, begitu Syeh Lemah Abang terpenggal kepalanya, mendadak sontak tercium aroma wangi semerbak yang aneh. Wangi yang bukan datang dari alam manusia. Wangi yang menyeruak dari alam Illahi!
Seluruh yang hadir tercekat. Para Wali yang menyaksikan jalannya eksekusi mati keheranan. Sunan Kudus tertegun. Para Pasukan yang bertugas sebagai penjaga pelaksanaan eksekusi, miris dan ketakutan.
Bahkan lamat-lamat, Para Wali melihat samar dan halus, ditengah-tengah darah yang menggenang disekitar jasad Syeh Siti Jenar, lamat-lamat, muncul empat huruf yang jika dibaca akan berbunyi ALLAH! Cuma sebentar. Dan kejadian gaib ini, sudah membuat beberapa Wali terjajar halus kebelakang!
Kala itulah, mendadak Sunan Kalijaga mengalami 'Peningkatan Kesadaran'. Batinnya sangat peka. Ada sebuah kekuatan illahi yang menarik 'Kesadaran' beliau. Dan Sunan Kalijaga tergetar begitu mendengar suara lamat-lamat, yang syahdu, berasal dari dalam jiwanya. Suara itu adalah suara Syeh Lemah Abang,...
Inilah yang beliau dengar..............
Terjemahan :
1.Dari yang sampai kepada Jalan Agung,
Meninggalkan Pesan Sejati,
Wahai manusia semua,
Pada saat kematian menjelang,
Tekad yang kuat (menggapai Kesempurnaan Sejati ),
Dan keteguhan kehendak (menggapai Kesempurnaan Sejati )..
2.Tidak didapatkan karena hanya mendengar semata,
Terkecoh ajaran berbelit-belit,
Mementingkan keutamaan tubuh (Ilmu Fiqh),
Apa yang tertulis dipercayai begitu saja,
Padahal itu hanya Ilmu Etika,
Belum menyentuh apa yang sesungguhnya.
3.Maka jangan terjebak syari'at,
Sangat-sangat mengganggu pencapaian Kesejatian,
Terlalu menimbulkan keragu-raguan dan ketidak pastian,
Walau tidak yakin benar tetap saja kamu jalani,
(Fiqh) itu Ilmu Duniawi,
Ketika meninggal tidak berguna.
4.Sesungguh-sungguhnya Ilmu,
Berada didalam Kesadaranmu sendiri,
Tingkatkan Kesadaranmu itu,
Satukan dengan Kesadaran Sejati,
Kesempurnaan Ilmu Sesungguhnya,
Akan kamu dapatkan dalam keadaan ENENG ( DIAM ) ENING ( HENING).
Sunan Kalijaga menitikkan air mata haru mendapati fenomena luar biasa itu. Dan segera, beliau memerintahkan pasukan Demak, merawat jasad Sang Kekasih Allah tersebut.
Sunan Kudus terpaku. Tak mampu berucap sepatah kata-pun.
Jenasah beliau, dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah beliau dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.
Keharuman nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, tidak bisa dihapuskan begitu saja dari benak masyarakat Jawa. Walaupun demikian hebat fitnahan yang dilancarkan kepada beliau sesudah beliau wafat, namun bagi masyarakat Jawa, diam-diam Syeh Siti Jenar tetap sebagai tokoh Agung.
(Tamat)
(13 November 2009, by : Damar Shashangka).
WARISAN ADILUHUNG
SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR ATAU SYEH SITI JENAR ( 4 )
Syeh Siti Jenar, kini telah menjadi semacam duri dalam daging bagi Dewan Wali Sangha. Sebuah duri ditengah berkobarnya semangat kekhalifahan. Sebuah obsesi Kaum Putihan untuk mendirikan bentuk pemerintahan Islam pertama di Jawa. Suatu Kekhalifahan yang menurut mereka bakal menjadi lebih besar gaungnya daripada Kekhalifahan Malaka( yang berdiri -/+ 1400 M) maupun Kekhalifahan Samudera Pasai yang berdiri pada tahun 1285 Masehi, tujuh tahun lebih awal berdiri daripada berdirinya Kerajaan Majapahit di Jawa ( 1292 M).Samudera Pasai bisa berdiri karena Kerajaan Shriiwijaya yang bercorak Buddhis, tengah terlibat peperangan dengan Kerajaan Thai yang juga sama-sama bercorak Buddhis. Ditambah lagi, serangan dari Kerajaan Singhasari yang berpusat di Malang, Jawa Timur dalam ekspedisi Pamalayu-nya, ikut memperlemah kekuatan Shriiwijaya.
Dalam situasi politik yang tidak menentu seperti ini, Samudera Pasai berhasil memisahkan diri, dan kemudian memaklumatkan diri sebagai Kekhalifahan pertama di Nusantara. Namun manakala Majapahit berdiri, sebagai penerus dinasty Singhasari, dan ketika Shriiwijaya berhasil dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Majapahit, maka Samudera Pasai-pun, mau tak mau, harus ikut tunduk mengakui kekuatan Majapahit.
Namun walaupun begitu, otonomi khusus bagi Samudera Pasai tetap diberikan oleh Penguasa Majapahit ( Raden Wijaya kala itu ). Hukum Islam tetap boleh diberlakukan diwilayah Samudera Pasai. Kebijakan yang luar biasa seperti ini, hanya bisa didapati dari mereka-mereka yang sudah berkesadaran tinggi. Seandainya Samudera Pasai yang berkuasa atas Majapahit, apakah akan terjadi sebaliknya?
Dan pada tahun 1401-1406 Masehi, Majapahit dilanda keguncangan. Kadipaten Blambangan, sebuah Kerajaan kecil wilayah Majapahit yang ada diujung timur pulau Jawa, hendak melepaskan diri dari pusat kekuasaan. Maka, terjadilah perang saudara yang terkenal dalam sejarah dengan nama Perang Pareg-greg. Blambangan berhasil ditundukkan. Beberapa bangsawan Blambangan berhasil melarikan diri ke pulau Tumasik ( Negara Singapura sekarang : Damar Shashangka). Namun, beberapa diantara bangsawan Blambangan merasa tetap tidak aman tinggal di pulau Tumasik, salah seorang darinya, bernama Pangeran Paramishora, diiringi beberapa pengikutnya, meninggalkan pulau Tumasik, menuju ke Semenanjung Malaka.
Di Semenanjung Malaka, Pangeran Paramishora dengan para pengikutnya dari Jawa, membuka hunian baru. Karena letaknya strategis, hunian baru itu berkembang pesat menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Pangeran Paramishora lantas memberanikan diri memproklamirkan berdirinya sebuah Kerajaan baru bernama Kerajaan Malaka. Dan Kerajaan Malaka inilah cikal bakal negara Malaysia sekarang.
Mendengar diproklamirkannya sebuah Kerajaan baru di Semenanjung Malaka yang merupakan wilayah Majapahit dan yang tidak mengakui kedaulatan Majapahit, penguasa Majapahit kala itu, yaitu Prabhu Wikramawardhana, tidak tinggal diam. Pangeran Paramishora, meminta bantuan Kaisar China dan menyatakan tunduk kepada Kekaisaran China, sehingga mau tidak mau Angkatan Perang Majapahit jika hendak merebur kembali Malaka, harus berhadapan dengan Angkatan Perang China!
Pangeran Paramoshora memang cerdik, bahkan untuk memperkuat tercapai ambisinya, dia menyatakan masuk Islam karena dia menyadari, di Malaka kebanyakan masyarakatnya telah memeluk Islam. Begitu masuk Islam dia mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah. Dan Malaka lantas berubah menjadi sebuah kekhalifahan Islam. Para penduduk Malaka dan Samudera Pasai menyatakan dukungannya kepada Kekhalifahan Malaka. Praktis, kini Majapahit harus menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan Angkatan Perang China dan kekuatan Islam.
Dilain pihak, dipusat kekuasaan Majapahit sendiri, segala keputusan penting yang menyangkut Kedaulatan Negara, terkesan sangat lambat dan tidak tegas. Terutama kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-orang Islam yang ada diwilayah Majapahit membuat Majapahit semakin kehilangan pamornya. Kebijakan yang teramat lunak ini juga tak lepas dari banyaknya petinggi Kerajaan yang telah beragama Islam. Maka tak heran, kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-otrang Islam, kerap kali mewarnai keputusan-keputusan yang diambil. Dan menyangkut urusan Malaka, pada akhirnya, Malaka lepas juga dari wilayah Majapahit. Konfrontasi yang hendak dijalankan, tidak pernah terwujud. Majapahit tengah disetir oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak kasat mata.
Sultan Iskandar Syah, meninggal dunia pada tahun 1414 Masehi. Dia digantikan oleh Muhammad Iskandar Syah. Sepuluh tahun kemudian (1424 M ), terjadi perebutan kekuasaan. Adik Muhammad Iskandar Syah, yaitu Mudzafar Syah, merebut tahta Kekhalifahan. Situasi politik Malaka mencekam.
Pada masa inilah, Syeh Datuk Sholeh, seorang ulama Islam terkemuka yang tinggal di Malaka, melarikan diri ke Jawa.
Syeh Datuk Sholeh, adalah putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa adalah ulama terkemuka juga di Malaka, beliau putra Syeh Ahmad Jalalluddin, ulama Islam yang bermukim di Champa ( Kamboja sekarang : Damar Shashangka ). Syeh Ahmad Jalalluddin adalah pendatang dari India, dia adalah putra Syeh Abdullah Khannuddin, seorang Mursyid Thariqat Syathariyyah yang terkenal di Ahmadabad, India. Syeh Abdullah Khannuddin sendiri adalah putra Syeh Abdul Malik yang juga seorang pendatang di India. Beliau berasal dari Qazam, Hadramaut. Syeh Abdul Malik adalah putra Syeh 'Alawy. Syeh Alawiy adalah keturunan seorang ulama terkenal yang bernama Syeh Isa al-Muhajjir al-Bashori al- 'Alawiy.
Pada tahun 1425 Masehi, Syeh Datuk Sholeh, tiba di Caruban Larang ( Cirebon sekarang : Damar Shashangka ). Kedatangannya bersama istri beliau dan para pengikutnya. Setibanya di Caruban Larang, yang waktu itu sudah diperintah oleh Pangeran Cakrabhuwana, beliau memilih menetap di daerah Pakuwuan Caruban atau Astana Japura sekarang, terletak sebelah tenggara kota Caruban Larang.
Di Caruban, beliau bersahabat dekat dengan Syeh Datuk Kahfi, seorang ulama Islam yang telah lebih dahulu tiba di Caruban, bahkan jauh-jauh hari sebelum Pangeran Cakrabhuwana mendirikan Caruban Larang. Syeh Datuk Kahfi inilah, guru dari Pangeran Cakrabhuwana.
Pada awal tahun 1426 Masehi, Syeh Datuk Sholeh wafat. Kala itu, istri beliau yang tengah mengandung semenjak kepergiannya dari Malaka, melahirkan seorang putra. Putra yang lahir yatim ini, diberi nama San 'Ali Anshar. Kelak, San 'Ali Anshar inilah yang terkenal dengan nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar.
Sejak kecil, San 'Ali Anshar diasuh oleh Ki Danusela, sahabat Syeh Datuk Sholeh. Menginjak usia lima tahun, Ki Danusela mengirimkan San 'Ali Anshar ke pasantren Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syeh Satuk Kahfi.
San 'Ali Anshar, adalah santri generasi kedua dari Pesantren Giri Amparan Jati. Pada generasi pertama, tercatat nama Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang. Keduanya adalah putra-putri Prabhu Silihwangi, Raja Pajajaran. Dan Pangeran Walang Sungsang, lantas bergelar Pangeran Cakrabhuwana, sedangkan Dewi Rara Santang lantas berganti nama menjadi Syarifah Muda'im. Syarifah Muda'im adalah ibu dari Syarif Hidayatullah yang kelak terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.
Menginjak dewasa, San 'Ali Anshar setelah merasa cukup menimba ilmu agama dari Syeh Datuk Kahfi, dia lantas memutuskan untuk menuju pedalaman Pajajaran. San 'Ali Anshar merasa bahwa apa yang dicarinya selama ini, apa yang didalaminya selama ini, belum bisa memuaskan hasrat 'spiritual'-nya. Dia ingin mencoba mencari seorang Guru lain, Guru selain Syeh Datuk Kahfi. Dan San 'Ali Anshar menerobos pedalaman Pajajaran untuk mecari Para Pertapa Buddha dan Para Ahli Yoga Hindhu yang kabarnya banyak bermukim disana.
Di Pajajaran, San 'Ali Anshar berhasil berguru kepada seorang Yogi Hindhu. Dari Sang Yogi, San 'Ali Anshar mendapatkan pelajaran Yoga yang bersumber dari Rontal Catur Viphala, sebuah sistem Yoga yang juga dipelajari oleh Prabhu Kertawijaya ( pengganti Ratu Suhita ) Raja Majapahit.
San 'Ali Anshar, mampu dengan cemerlang menguasai empat tahapan sistem Yoga Catur Viphala. Empat tahap yang disebut Nis-Prha, Nir-Hana, Nis-Kala dan Nir- Asraya.
Dalam tahap Nis- Prha, seorang Sadhaka ( pengembara spiritual ) diharapkan sudah mampu melampaui segala macam keinginan duniawinya. Duniawi sudah tidak menarik minatnya lagi. Kehendak 'aku'-nya hanya terarah pada 'Sang Atma' atau 'Aku- Semesta'. Seluruh Panca Indrya ( Lima Indra penghubung dengan dunia Maya ) dan Panca Karmendrya ( Lima Indera penggerak badan kasar ), sudah mampu ditundukkan. Demikian juga dengan Manah ( Pikiran ), Citta ( Ingatan ), Ahamkara ( Keakuan ) dan Buddhi ( Kesadaran terbatas ), sudah sangat tenang. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Heneng ( Tenang )
Dalam tahap Nir-Hana, seorang sadhaka diharapkan sudah mampu menyadari sebenar-benarnya, bahwa diri-Nya adalah bagian dari Kesadaran Murni Semesta. Telah benar-benar menyadari bahwa diri-Nya adalah Atma. Diri-Nya bukanlah Badan Kasar atau Sthula Sariira yang terlihat ini. Diri-Nya bukanlah Badan Halus atau Suksma Sariira yang terdiri dari Manah, Citta, Ahamkara, Buddhi dan kesepuluh Indra ini. Diri-Nya tak lain adalah percikan Brahman, sebuah Kesadaran Total Murni Yang Absolut Transendental. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Hening ( Jernih ).
Dalam tahap Nis- Kala, seorang sadhana sudah mampu melampaui Badan Kasar dan Badan Halusnya. Seorang sadhana sudah menyadari betul, bahwa Badan Kasar dan Badan Halus hanyalah produk Maya, Produk Alam, yang tidak kekal dan bakalan musnah. Sandahan benar-benar menyadari hanya Atma-lah yang kekal, karena Atma tidak diciptakan. Atma adalah percikan Brahman. Sang Sadhana sudah melihat kebenaran ini Dia sudah mampu melihat apa itu Atma, apa itu Brahman. Sang Sadhana sudah bisa melihat bahwasanya Atman dan Brahman adalah Satu. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Hunong ( Melihat ).
Dalam tahap Nir- Asraya, Sang Sadhana sudah mampu melebur 'aku'-nya. Sudah mampu memecahkan belenggu 'Aku'-Nya Sudah melampaui Mindnya. Dan Atma sang Sadhana yang ternyata adalag Satu Kesatuan Tunggal dengan Brahman, kini telah menikmati kondisi penyatuan ini, penyatuan yang telah lama Ia lupakan. Menikmati Ketunggalan yang telah lama tak disadarinya akibat pengaruh Maya, pengaruh Mind. Pengaruh 'aku' kecilnya sendiri. Sang Sadhana telah lebur kedalam Kebahagiaan Sejati Yang Tiada Akhir. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata ; Menang ( Kemenangan ).
Di Pajajaran, melalui bimbingan seorang Yogi Hindhu, San 'Ali Anshar, mencapai 'Puncak Kesadaran'. Dan dari Pajajaran inilah, San 'Ali Anshar menyadari bahwa seluruh alam ini, sesungguhnya adalah Satu Kesatuan. Terlihat berbeda karena setiap makhluk masih terliputi kesadaran Badan Halus. Sehingga muncul 'aku' kecil. Begitu 'aku' kecil muncul, maka setiap makhluk merasa terpisah sebagai pribadi-pribadi tersendiri. Begitu pengaruh Maya ini berhasil disingkapkan, maka semua yang terlihat hanyalah Brahman semata. San 'Ali Anshar bersujud syukur, karena melalui seorang Yogi Hindhu, dia bisa menyadari semua ini. Bahkan akhirnya, dia juga bisa memahami apa yang pernah diucapkan oleh seorang Sufi terkenal, yaitu Abu Yazid al-Busthami, manakala beliu pernah berkata kepada seseorang yang tengah mencarinya. Seseorang yang tengah mengetuk pintu rumahnya. Beliau bertanya : Siapa ?.Yang mengetuk menjawab : Aku, mencari Abu Yazid. Beliau lantas menjawab : Pergilah. Yang ada dirumah ini hanya Allah!.
Setelah berhasil memperoleh Kesadaran Purna dari Pajajaran, hasrat San 'Ali Anshar untuk melakukan pengembaraan, tak terbendung lagi. Dia bertolak ke Palembang. Menemui Arya Damar. Disana San 'Ali Anshar memperdalam lagi puncak spiritualitas yang sesungguhnya telah ia dapatkan.
Arya Damar adalah bangsawan Palembang. Dia adalah putra Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi dengan seorang putri China. Nama China Arya Damar adalah Swan Liong. Dia adalah peranakan Jawa-China. Sempat belajar agama kepada Syeh Ibrahim As-Samarqand atau yang di Jawa terkenal dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Syeh Ibrahim As-Samarqand inilah ayah kandung Sunan Ampel. Arya Damar inilah ayah tiri Raden Patah. ( Baca catatan saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).
Di Palembang, San 'Ali Anshar bersama Arya Damar membuktikan bahwa seluruh semesta ini sejatinya adalah satu kesatuan tunggal. Sehabis dari Palembang, San 'Ali Anshar melanjutkan pengembaraannya ke Kesultanan Malaka ( +/- 1450 M ). Di Malaka, San 'Ali Anshar dikenal dengan nama Syeh Jabaranta, Bahkan, akibat pertemuannya dengan Syeh Datuk Ahmad, yaitu kakak kandung Syeh Datuk Sholeh, ayahnya, San 'Ali Anshar, diberi nama baru, yaitu Syeh Abdul Jalil.
Rasa ingin mengenal semesta raya yang semakin meletup-letup didada San 'Ali Anshar yang kini dikenal dengan nama Syeh Abdul Jalil, membuatnya memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ke Baghdad, Irak. Bersama seorang ulama Sufi asal Baghdad yang menetap di Malaka, bernama Syeh Ahmad Al-Mubasyarah Al- Tawwalud, Syeh Abdul Jalil, berangkat ke Baghdad.
Di Baghdad, Syeh Abdul Jalil semakin intensif mempelajari spiritualitas. Apalagi disana, dikediaman Al-Tawwalud, banyak naskah-naskah Sufistik yang tersimpan. Seluruh kitab Sufistik mulai dari Ihya' Ulumuddin-nya Al-Ghazali, Fushushul Hikam-nya Ibnu 'Araby, karya-karya Abu Yazid Al-Busthami bahkan At-Thawasun-nya Al-Hallaj, yang terkenal dengan ucapannya 'Anna Al-Khaq' ( Aku-lah Kebenaran Sejati ) dan yang hidupnya berakhir targis ditiang eksekusi mati, semuanya berhasil dipelajari oleh Syeh Abdul Jalil. Termasuk pula kitab Haqiqatul Haqoiq, Insan Kamil dan Manazilul Alahiyyah-nya Al-Jilli, semuanya berhasil dipahaminya.
Setelah dirasa cukup, Syeh Abdul Jalil meneruskan pengembaraannya ke Makkah. Setelah mengunjungi Makkah, Syeh Abdul Jalil bertolak pulang ke Jawa.
Syeh Abdul Jalil tiba kembali dipulau Jawa pada tahun 1463 Masehi. Caruban Larang, kini telah berubah menjadi daerah otonom. Pangeran Walang Sungsang kini menjawab sebagai Penguasa tunggal wilayah Caruban Larang dan bergelar Pangeran Cakrabhuwana, serta bergelar Shrii Manggana. Gelar terakhir adalah gelar pemberian dari ayahandanya Prabhu Silih Wangi.
Syeh Datuk Kahfi, masih dianugerahi usia panjang.
Kedatangan Syeh Abdul Jalil ini diketahui oleh Dewan Wali Sangha, yaitu semacam Majelis Ulama Jawa yang berpusat di Ampeldhenta, Surabaya. Majelis Ulama Jawa ini berdiri pada tahun 1454 dibawah pimpinan Raden 'Ali Rahmad atau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. ( Baca catatan saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).
Selama beberapa tahun meninggalkan Jawa, telah banyak sekali perubahan yang terjadi. Syeh Abdul Jalil melihat umat Islam sekarang terkesan lebih militan, jauh berbeda dengan kesan sebelum beliau meninggalkan Jawa.
Karena di Jawa bagian barat kepemimpinan Islam belum ada yang memegang, atas usul Sunan Benang, Syeh Abdul Jalil diangkat sebagai wakil Dewan Wali di sana. Syeh Abdul Jalil, yang setibanya di Caruban mendapat gelar baru Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, menerima tawaran itu.
Namun melihat dominasi Dewan Wali Sangha yang semakin hari semakin tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya, membuat Syeh Siti Jenar harus berkali-kali melayangkan protesnya kepada Sunan Ampel. Syeh Siti Jenar tidak menyetujui gerakan-gerakan lasykar Islam yang kian hari kian radikal. Harmonisasi terganggu. Toleransi terkoyak. Etika kemanusiaan tercampak. Dan ujung-ujungnya Islam menjadi kambing hitam.
Pada puncaknya, Syeh Siti Jenar menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Bagi beliau, spiritualitas Islam yang universal, menjadi terasa sempit terhimpit dinding-dinding kelembagaan Dewan Wali. Dan, Syeh Siti Jenar tidaklah sendiri, seorang anggota Dewan Wali, yang sangat disegani diwilayah Majapahit, yaitu Sunan Kalijaga, mempunyai pandangan yang sama dengan beliau. Maka, dimata Dewan Wali, kedua tokoh ini telah menjadi dua sosok figur 'pemberontak'.
Seorang santri senior Sunan Ampel, yang bernama Sunan Giri, menamakan kelompok Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, sebagai kelompok Abangan, semacam kelompok bid'ah. Kelompok yang tidak mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhan, sepotong-sepotong. Dan, situasipun memanas. Ummat Islam Jawa terpecah menjadi dua kelompok besar. Mereka yang berpandangan bahwasanya umat beragama lain berhak berdampingan secara sejajar dengan umat Islam, saling asah, asih dan asuh, saling memberi, saling mengisi, dikelompokkan oleh Sunan Giri sebagai pengikut Abangan. Sedangkan kelompok yang berpandangan bahwa Islam adalah kebenaran tunggal, tidak ada lagi agama yang benar kecuali Islam, tidak ada lagi toleransi bagi mereka yang bukan Islam kecuali ada perjanjian tertulis dan selayaknya ajaran Islam yang berhak mendominasi segala aspek kehidupan manusia, dikelompokkan sebagai kaum Putihan.
Pada tahun 1475 Masehi, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana, beserta ibunya Syarifah Muda'im, datang ke Cirebon dari Mesir. Mengingat kedudukan kepemimpinan Islam di Jawa bagian barat tengah kosong, maka Dewan Wali Sangha meminta Syarif Hidayatullah bersedia mengisi kekosongan itu. Syarif Hidayatullah lantas terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.
Menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Kepemimpinan Dewan Wali Sangha beralih ketangan Sunan Giri. Melihat perubahan yang tak terduga ini, mau tak mau posisi abangan sangat terjepit.
Dan manakala mendengar Pesantren Krendhasawa yang diasuh oleh Syeh Siti Jenar mengalami kemajuan sedemikian pesat, dimana materi pengajaran yang diajarkan ternyata sangat-sangat lunak bagi akidah Islam, begitu menurut Sunan Giri, bahkan tassawuf adalah materi utama yang diajarkan disana melebihi ilmu-ilmu yang lain, maka Sunan Giri, yang merasa sebagai Wali Mukmin, Pemimpin Dewan Wali, meminta Syeh Siti Jenar untuk menghadap ke Giri.
Dewan Wali Sangha yang mendapati bahwa Syeh Siti Jenar benar-benar sudah diluar kontrol, diam-diam memutuskan untuk menyingkirkan beliau.
Pada tahun 1478, Demak Bintara mengadakan perebutan kekuasaan. Majapahit berhasil dihancurkan ( Baca catatan saya ; Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ). Perebutan kekuasaan yang berakhir sukses gemilang ini membuat orang-orang Islam golongan Putihan merasa bangga. Kala itu, mereka yakin, Tuhan telah merestui perjuangan mereka. Andai saja mereka tahu, seandainya Majapahit tetap berdiri kokoh, kelak Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara secara keseluruhan. Sebab dengan dihancurkannya Majapahit, maka integrasi wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yang selama ini mampu disatukan dalam panji kebesaran Majapahit, akan sangat sulit dilakukan oleh Demak Bintara, mengingat Demak Bintara memiliki kebijakan politik yang sangat kaku.
Begitu juga, hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa, pasti tidak akan bisa berjalan lancar selancar disaat Majapahit masih berkuasa. Bangsa Eropa dan dunia Islam, semenjak Perang Salib, telah memiliki dendam sejarah yang teramat dalam. Mau tidak mau, untuk memperlancar kembali pasokan rempah-rempah dari Nusantara yang kini didominasi kekuatan Islam, maka politik konfrontasi akan dikedepankan oleh bangsa-bangsa Eropa.
Secara tidak sadar, ummat Islam Putihan telah mengundang konflik lebih besar bagi Nusantara. Mengundang keterpurukan Nusantara dalam jangka waktu yang cukup lama.
Namun dikala itu, disaat mereka telah berhasil menghancurkan Majapahit, mereka benar-benar optimis, benar-benar yakin, bahwa dengan tegaknya Kesultanan Demak Bintara, maka Nusantara akan diberkahi kemakmuran oleh Tuhan.
Pada kenyataannya, sejak masa itu, Nusantara terus tenggelam kedasar jurang keterbelakangan dan kemiskinan. Mana janji Tuhan ? Seandainya Majapahit tetap berdiri, maka dapat dipastikan, Nusantara akan tetap tegak sejajar dengan China!
Kubu Abangan tidak ikut campur sama sekali dengan urusan perebutan kekuasaan ini. Namun, begitu kaum Putihan memenangkan pertarungan, maka bukan saja komunitas Hindhu-Buddha, kubu Abangan-pun ikut tersudut. Dan pada puncaknya, mereka lama-lama tidak betah juga terus-terusan disudutkan, dihakimi, diajari, dinasehati bahkan diintimidasi. Banyak para pengikut Abangan yang kemudian menjauhi pusat-pusat perkotaan. Menyingkir ke pedesaan. Membentuk kelompok-kelompok kecil, terpisah-pisah dan terkucil. Dan pada perkembangan selanjutnya, sebagian dari mereka ini menyebut dirinya sebagai penganut aliran Kejawen.
(Bersambung).
Dalam situasi politik yang tidak menentu seperti ini, Samudera Pasai berhasil memisahkan diri, dan kemudian memaklumatkan diri sebagai Kekhalifahan pertama di Nusantara. Namun manakala Majapahit berdiri, sebagai penerus dinasty Singhasari, dan ketika Shriiwijaya berhasil dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Majapahit, maka Samudera Pasai-pun, mau tak mau, harus ikut tunduk mengakui kekuatan Majapahit.
Namun walaupun begitu, otonomi khusus bagi Samudera Pasai tetap diberikan oleh Penguasa Majapahit ( Raden Wijaya kala itu ). Hukum Islam tetap boleh diberlakukan diwilayah Samudera Pasai. Kebijakan yang luar biasa seperti ini, hanya bisa didapati dari mereka-mereka yang sudah berkesadaran tinggi. Seandainya Samudera Pasai yang berkuasa atas Majapahit, apakah akan terjadi sebaliknya?
Dan pada tahun 1401-1406 Masehi, Majapahit dilanda keguncangan. Kadipaten Blambangan, sebuah Kerajaan kecil wilayah Majapahit yang ada diujung timur pulau Jawa, hendak melepaskan diri dari pusat kekuasaan. Maka, terjadilah perang saudara yang terkenal dalam sejarah dengan nama Perang Pareg-greg. Blambangan berhasil ditundukkan. Beberapa bangsawan Blambangan berhasil melarikan diri ke pulau Tumasik ( Negara Singapura sekarang : Damar Shashangka). Namun, beberapa diantara bangsawan Blambangan merasa tetap tidak aman tinggal di pulau Tumasik, salah seorang darinya, bernama Pangeran Paramishora, diiringi beberapa pengikutnya, meninggalkan pulau Tumasik, menuju ke Semenanjung Malaka.
Di Semenanjung Malaka, Pangeran Paramishora dengan para pengikutnya dari Jawa, membuka hunian baru. Karena letaknya strategis, hunian baru itu berkembang pesat menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Pangeran Paramishora lantas memberanikan diri memproklamirkan berdirinya sebuah Kerajaan baru bernama Kerajaan Malaka. Dan Kerajaan Malaka inilah cikal bakal negara Malaysia sekarang.
Mendengar diproklamirkannya sebuah Kerajaan baru di Semenanjung Malaka yang merupakan wilayah Majapahit dan yang tidak mengakui kedaulatan Majapahit, penguasa Majapahit kala itu, yaitu Prabhu Wikramawardhana, tidak tinggal diam. Pangeran Paramishora, meminta bantuan Kaisar China dan menyatakan tunduk kepada Kekaisaran China, sehingga mau tidak mau Angkatan Perang Majapahit jika hendak merebur kembali Malaka, harus berhadapan dengan Angkatan Perang China!
Pangeran Paramoshora memang cerdik, bahkan untuk memperkuat tercapai ambisinya, dia menyatakan masuk Islam karena dia menyadari, di Malaka kebanyakan masyarakatnya telah memeluk Islam. Begitu masuk Islam dia mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah. Dan Malaka lantas berubah menjadi sebuah kekhalifahan Islam. Para penduduk Malaka dan Samudera Pasai menyatakan dukungannya kepada Kekhalifahan Malaka. Praktis, kini Majapahit harus menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan Angkatan Perang China dan kekuatan Islam.
Dilain pihak, dipusat kekuasaan Majapahit sendiri, segala keputusan penting yang menyangkut Kedaulatan Negara, terkesan sangat lambat dan tidak tegas. Terutama kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-orang Islam yang ada diwilayah Majapahit membuat Majapahit semakin kehilangan pamornya. Kebijakan yang teramat lunak ini juga tak lepas dari banyaknya petinggi Kerajaan yang telah beragama Islam. Maka tak heran, kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-otrang Islam, kerap kali mewarnai keputusan-keputusan yang diambil. Dan menyangkut urusan Malaka, pada akhirnya, Malaka lepas juga dari wilayah Majapahit. Konfrontasi yang hendak dijalankan, tidak pernah terwujud. Majapahit tengah disetir oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak kasat mata.
Sultan Iskandar Syah, meninggal dunia pada tahun 1414 Masehi. Dia digantikan oleh Muhammad Iskandar Syah. Sepuluh tahun kemudian (1424 M ), terjadi perebutan kekuasaan. Adik Muhammad Iskandar Syah, yaitu Mudzafar Syah, merebut tahta Kekhalifahan. Situasi politik Malaka mencekam.
Pada masa inilah, Syeh Datuk Sholeh, seorang ulama Islam terkemuka yang tinggal di Malaka, melarikan diri ke Jawa.
Syeh Datuk Sholeh, adalah putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa adalah ulama terkemuka juga di Malaka, beliau putra Syeh Ahmad Jalalluddin, ulama Islam yang bermukim di Champa ( Kamboja sekarang : Damar Shashangka ). Syeh Ahmad Jalalluddin adalah pendatang dari India, dia adalah putra Syeh Abdullah Khannuddin, seorang Mursyid Thariqat Syathariyyah yang terkenal di Ahmadabad, India. Syeh Abdullah Khannuddin sendiri adalah putra Syeh Abdul Malik yang juga seorang pendatang di India. Beliau berasal dari Qazam, Hadramaut. Syeh Abdul Malik adalah putra Syeh 'Alawy. Syeh Alawiy adalah keturunan seorang ulama terkenal yang bernama Syeh Isa al-Muhajjir al-Bashori al- 'Alawiy.
Pada tahun 1425 Masehi, Syeh Datuk Sholeh, tiba di Caruban Larang ( Cirebon sekarang : Damar Shashangka ). Kedatangannya bersama istri beliau dan para pengikutnya. Setibanya di Caruban Larang, yang waktu itu sudah diperintah oleh Pangeran Cakrabhuwana, beliau memilih menetap di daerah Pakuwuan Caruban atau Astana Japura sekarang, terletak sebelah tenggara kota Caruban Larang.
Di Caruban, beliau bersahabat dekat dengan Syeh Datuk Kahfi, seorang ulama Islam yang telah lebih dahulu tiba di Caruban, bahkan jauh-jauh hari sebelum Pangeran Cakrabhuwana mendirikan Caruban Larang. Syeh Datuk Kahfi inilah, guru dari Pangeran Cakrabhuwana.
Pada awal tahun 1426 Masehi, Syeh Datuk Sholeh wafat. Kala itu, istri beliau yang tengah mengandung semenjak kepergiannya dari Malaka, melahirkan seorang putra. Putra yang lahir yatim ini, diberi nama San 'Ali Anshar. Kelak, San 'Ali Anshar inilah yang terkenal dengan nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar.
Sejak kecil, San 'Ali Anshar diasuh oleh Ki Danusela, sahabat Syeh Datuk Sholeh. Menginjak usia lima tahun, Ki Danusela mengirimkan San 'Ali Anshar ke pasantren Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syeh Satuk Kahfi.
San 'Ali Anshar, adalah santri generasi kedua dari Pesantren Giri Amparan Jati. Pada generasi pertama, tercatat nama Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang. Keduanya adalah putra-putri Prabhu Silihwangi, Raja Pajajaran. Dan Pangeran Walang Sungsang, lantas bergelar Pangeran Cakrabhuwana, sedangkan Dewi Rara Santang lantas berganti nama menjadi Syarifah Muda'im. Syarifah Muda'im adalah ibu dari Syarif Hidayatullah yang kelak terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.
Menginjak dewasa, San 'Ali Anshar setelah merasa cukup menimba ilmu agama dari Syeh Datuk Kahfi, dia lantas memutuskan untuk menuju pedalaman Pajajaran. San 'Ali Anshar merasa bahwa apa yang dicarinya selama ini, apa yang didalaminya selama ini, belum bisa memuaskan hasrat 'spiritual'-nya. Dia ingin mencoba mencari seorang Guru lain, Guru selain Syeh Datuk Kahfi. Dan San 'Ali Anshar menerobos pedalaman Pajajaran untuk mecari Para Pertapa Buddha dan Para Ahli Yoga Hindhu yang kabarnya banyak bermukim disana.
Di Pajajaran, San 'Ali Anshar berhasil berguru kepada seorang Yogi Hindhu. Dari Sang Yogi, San 'Ali Anshar mendapatkan pelajaran Yoga yang bersumber dari Rontal Catur Viphala, sebuah sistem Yoga yang juga dipelajari oleh Prabhu Kertawijaya ( pengganti Ratu Suhita ) Raja Majapahit.
San 'Ali Anshar, mampu dengan cemerlang menguasai empat tahapan sistem Yoga Catur Viphala. Empat tahap yang disebut Nis-Prha, Nir-Hana, Nis-Kala dan Nir- Asraya.
Dalam tahap Nis- Prha, seorang Sadhaka ( pengembara spiritual ) diharapkan sudah mampu melampaui segala macam keinginan duniawinya. Duniawi sudah tidak menarik minatnya lagi. Kehendak 'aku'-nya hanya terarah pada 'Sang Atma' atau 'Aku- Semesta'. Seluruh Panca Indrya ( Lima Indra penghubung dengan dunia Maya ) dan Panca Karmendrya ( Lima Indera penggerak badan kasar ), sudah mampu ditundukkan. Demikian juga dengan Manah ( Pikiran ), Citta ( Ingatan ), Ahamkara ( Keakuan ) dan Buddhi ( Kesadaran terbatas ), sudah sangat tenang. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Heneng ( Tenang )
Dalam tahap Nir-Hana, seorang sadhaka diharapkan sudah mampu menyadari sebenar-benarnya, bahwa diri-Nya adalah bagian dari Kesadaran Murni Semesta. Telah benar-benar menyadari bahwa diri-Nya adalah Atma. Diri-Nya bukanlah Badan Kasar atau Sthula Sariira yang terlihat ini. Diri-Nya bukanlah Badan Halus atau Suksma Sariira yang terdiri dari Manah, Citta, Ahamkara, Buddhi dan kesepuluh Indra ini. Diri-Nya tak lain adalah percikan Brahman, sebuah Kesadaran Total Murni Yang Absolut Transendental. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Hening ( Jernih ).
Dalam tahap Nis- Kala, seorang sadhana sudah mampu melampaui Badan Kasar dan Badan Halusnya. Seorang sadhana sudah menyadari betul, bahwa Badan Kasar dan Badan Halus hanyalah produk Maya, Produk Alam, yang tidak kekal dan bakalan musnah. Sandahan benar-benar menyadari hanya Atma-lah yang kekal, karena Atma tidak diciptakan. Atma adalah percikan Brahman. Sang Sadhana sudah melihat kebenaran ini Dia sudah mampu melihat apa itu Atma, apa itu Brahman. Sang Sadhana sudah bisa melihat bahwasanya Atman dan Brahman adalah Satu. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Hunong ( Melihat ).
Dalam tahap Nir- Asraya, Sang Sadhana sudah mampu melebur 'aku'-nya. Sudah mampu memecahkan belenggu 'Aku'-Nya Sudah melampaui Mindnya. Dan Atma sang Sadhana yang ternyata adalag Satu Kesatuan Tunggal dengan Brahman, kini telah menikmati kondisi penyatuan ini, penyatuan yang telah lama Ia lupakan. Menikmati Ketunggalan yang telah lama tak disadarinya akibat pengaruh Maya, pengaruh Mind. Pengaruh 'aku' kecilnya sendiri. Sang Sadhana telah lebur kedalam Kebahagiaan Sejati Yang Tiada Akhir. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata ; Menang ( Kemenangan ).
Di Pajajaran, melalui bimbingan seorang Yogi Hindhu, San 'Ali Anshar, mencapai 'Puncak Kesadaran'. Dan dari Pajajaran inilah, San 'Ali Anshar menyadari bahwa seluruh alam ini, sesungguhnya adalah Satu Kesatuan. Terlihat berbeda karena setiap makhluk masih terliputi kesadaran Badan Halus. Sehingga muncul 'aku' kecil. Begitu 'aku' kecil muncul, maka setiap makhluk merasa terpisah sebagai pribadi-pribadi tersendiri. Begitu pengaruh Maya ini berhasil disingkapkan, maka semua yang terlihat hanyalah Brahman semata. San 'Ali Anshar bersujud syukur, karena melalui seorang Yogi Hindhu, dia bisa menyadari semua ini. Bahkan akhirnya, dia juga bisa memahami apa yang pernah diucapkan oleh seorang Sufi terkenal, yaitu Abu Yazid al-Busthami, manakala beliu pernah berkata kepada seseorang yang tengah mencarinya. Seseorang yang tengah mengetuk pintu rumahnya. Beliau bertanya : Siapa ?.Yang mengetuk menjawab : Aku, mencari Abu Yazid. Beliau lantas menjawab : Pergilah. Yang ada dirumah ini hanya Allah!.
Setelah berhasil memperoleh Kesadaran Purna dari Pajajaran, hasrat San 'Ali Anshar untuk melakukan pengembaraan, tak terbendung lagi. Dia bertolak ke Palembang. Menemui Arya Damar. Disana San 'Ali Anshar memperdalam lagi puncak spiritualitas yang sesungguhnya telah ia dapatkan.
Arya Damar adalah bangsawan Palembang. Dia adalah putra Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi dengan seorang putri China. Nama China Arya Damar adalah Swan Liong. Dia adalah peranakan Jawa-China. Sempat belajar agama kepada Syeh Ibrahim As-Samarqand atau yang di Jawa terkenal dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Syeh Ibrahim As-Samarqand inilah ayah kandung Sunan Ampel. Arya Damar inilah ayah tiri Raden Patah. ( Baca catatan saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).
Di Palembang, San 'Ali Anshar bersama Arya Damar membuktikan bahwa seluruh semesta ini sejatinya adalah satu kesatuan tunggal. Sehabis dari Palembang, San 'Ali Anshar melanjutkan pengembaraannya ke Kesultanan Malaka ( +/- 1450 M ). Di Malaka, San 'Ali Anshar dikenal dengan nama Syeh Jabaranta, Bahkan, akibat pertemuannya dengan Syeh Datuk Ahmad, yaitu kakak kandung Syeh Datuk Sholeh, ayahnya, San 'Ali Anshar, diberi nama baru, yaitu Syeh Abdul Jalil.
Rasa ingin mengenal semesta raya yang semakin meletup-letup didada San 'Ali Anshar yang kini dikenal dengan nama Syeh Abdul Jalil, membuatnya memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ke Baghdad, Irak. Bersama seorang ulama Sufi asal Baghdad yang menetap di Malaka, bernama Syeh Ahmad Al-Mubasyarah Al- Tawwalud, Syeh Abdul Jalil, berangkat ke Baghdad.
Di Baghdad, Syeh Abdul Jalil semakin intensif mempelajari spiritualitas. Apalagi disana, dikediaman Al-Tawwalud, banyak naskah-naskah Sufistik yang tersimpan. Seluruh kitab Sufistik mulai dari Ihya' Ulumuddin-nya Al-Ghazali, Fushushul Hikam-nya Ibnu 'Araby, karya-karya Abu Yazid Al-Busthami bahkan At-Thawasun-nya Al-Hallaj, yang terkenal dengan ucapannya 'Anna Al-Khaq' ( Aku-lah Kebenaran Sejati ) dan yang hidupnya berakhir targis ditiang eksekusi mati, semuanya berhasil dipelajari oleh Syeh Abdul Jalil. Termasuk pula kitab Haqiqatul Haqoiq, Insan Kamil dan Manazilul Alahiyyah-nya Al-Jilli, semuanya berhasil dipahaminya.
Setelah dirasa cukup, Syeh Abdul Jalil meneruskan pengembaraannya ke Makkah. Setelah mengunjungi Makkah, Syeh Abdul Jalil bertolak pulang ke Jawa.
Syeh Abdul Jalil tiba kembali dipulau Jawa pada tahun 1463 Masehi. Caruban Larang, kini telah berubah menjadi daerah otonom. Pangeran Walang Sungsang kini menjawab sebagai Penguasa tunggal wilayah Caruban Larang dan bergelar Pangeran Cakrabhuwana, serta bergelar Shrii Manggana. Gelar terakhir adalah gelar pemberian dari ayahandanya Prabhu Silih Wangi.
Syeh Datuk Kahfi, masih dianugerahi usia panjang.
Kedatangan Syeh Abdul Jalil ini diketahui oleh Dewan Wali Sangha, yaitu semacam Majelis Ulama Jawa yang berpusat di Ampeldhenta, Surabaya. Majelis Ulama Jawa ini berdiri pada tahun 1454 dibawah pimpinan Raden 'Ali Rahmad atau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. ( Baca catatan saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).
Selama beberapa tahun meninggalkan Jawa, telah banyak sekali perubahan yang terjadi. Syeh Abdul Jalil melihat umat Islam sekarang terkesan lebih militan, jauh berbeda dengan kesan sebelum beliau meninggalkan Jawa.
Karena di Jawa bagian barat kepemimpinan Islam belum ada yang memegang, atas usul Sunan Benang, Syeh Abdul Jalil diangkat sebagai wakil Dewan Wali di sana. Syeh Abdul Jalil, yang setibanya di Caruban mendapat gelar baru Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, menerima tawaran itu.
Namun melihat dominasi Dewan Wali Sangha yang semakin hari semakin tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya, membuat Syeh Siti Jenar harus berkali-kali melayangkan protesnya kepada Sunan Ampel. Syeh Siti Jenar tidak menyetujui gerakan-gerakan lasykar Islam yang kian hari kian radikal. Harmonisasi terganggu. Toleransi terkoyak. Etika kemanusiaan tercampak. Dan ujung-ujungnya Islam menjadi kambing hitam.
Pada puncaknya, Syeh Siti Jenar menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Bagi beliau, spiritualitas Islam yang universal, menjadi terasa sempit terhimpit dinding-dinding kelembagaan Dewan Wali. Dan, Syeh Siti Jenar tidaklah sendiri, seorang anggota Dewan Wali, yang sangat disegani diwilayah Majapahit, yaitu Sunan Kalijaga, mempunyai pandangan yang sama dengan beliau. Maka, dimata Dewan Wali, kedua tokoh ini telah menjadi dua sosok figur 'pemberontak'.
Seorang santri senior Sunan Ampel, yang bernama Sunan Giri, menamakan kelompok Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, sebagai kelompok Abangan, semacam kelompok bid'ah. Kelompok yang tidak mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhan, sepotong-sepotong. Dan, situasipun memanas. Ummat Islam Jawa terpecah menjadi dua kelompok besar. Mereka yang berpandangan bahwasanya umat beragama lain berhak berdampingan secara sejajar dengan umat Islam, saling asah, asih dan asuh, saling memberi, saling mengisi, dikelompokkan oleh Sunan Giri sebagai pengikut Abangan. Sedangkan kelompok yang berpandangan bahwa Islam adalah kebenaran tunggal, tidak ada lagi agama yang benar kecuali Islam, tidak ada lagi toleransi bagi mereka yang bukan Islam kecuali ada perjanjian tertulis dan selayaknya ajaran Islam yang berhak mendominasi segala aspek kehidupan manusia, dikelompokkan sebagai kaum Putihan.
Pada tahun 1475 Masehi, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana, beserta ibunya Syarifah Muda'im, datang ke Cirebon dari Mesir. Mengingat kedudukan kepemimpinan Islam di Jawa bagian barat tengah kosong, maka Dewan Wali Sangha meminta Syarif Hidayatullah bersedia mengisi kekosongan itu. Syarif Hidayatullah lantas terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.
Menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Kepemimpinan Dewan Wali Sangha beralih ketangan Sunan Giri. Melihat perubahan yang tak terduga ini, mau tak mau posisi abangan sangat terjepit.
Dan manakala mendengar Pesantren Krendhasawa yang diasuh oleh Syeh Siti Jenar mengalami kemajuan sedemikian pesat, dimana materi pengajaran yang diajarkan ternyata sangat-sangat lunak bagi akidah Islam, begitu menurut Sunan Giri, bahkan tassawuf adalah materi utama yang diajarkan disana melebihi ilmu-ilmu yang lain, maka Sunan Giri, yang merasa sebagai Wali Mukmin, Pemimpin Dewan Wali, meminta Syeh Siti Jenar untuk menghadap ke Giri.
Dewan Wali Sangha yang mendapati bahwa Syeh Siti Jenar benar-benar sudah diluar kontrol, diam-diam memutuskan untuk menyingkirkan beliau.
Pada tahun 1478, Demak Bintara mengadakan perebutan kekuasaan. Majapahit berhasil dihancurkan ( Baca catatan saya ; Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ). Perebutan kekuasaan yang berakhir sukses gemilang ini membuat orang-orang Islam golongan Putihan merasa bangga. Kala itu, mereka yakin, Tuhan telah merestui perjuangan mereka. Andai saja mereka tahu, seandainya Majapahit tetap berdiri kokoh, kelak Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara secara keseluruhan. Sebab dengan dihancurkannya Majapahit, maka integrasi wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yang selama ini mampu disatukan dalam panji kebesaran Majapahit, akan sangat sulit dilakukan oleh Demak Bintara, mengingat Demak Bintara memiliki kebijakan politik yang sangat kaku.
Begitu juga, hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa, pasti tidak akan bisa berjalan lancar selancar disaat Majapahit masih berkuasa. Bangsa Eropa dan dunia Islam, semenjak Perang Salib, telah memiliki dendam sejarah yang teramat dalam. Mau tidak mau, untuk memperlancar kembali pasokan rempah-rempah dari Nusantara yang kini didominasi kekuatan Islam, maka politik konfrontasi akan dikedepankan oleh bangsa-bangsa Eropa.
Secara tidak sadar, ummat Islam Putihan telah mengundang konflik lebih besar bagi Nusantara. Mengundang keterpurukan Nusantara dalam jangka waktu yang cukup lama.
Namun dikala itu, disaat mereka telah berhasil menghancurkan Majapahit, mereka benar-benar optimis, benar-benar yakin, bahwa dengan tegaknya Kesultanan Demak Bintara, maka Nusantara akan diberkahi kemakmuran oleh Tuhan.
Pada kenyataannya, sejak masa itu, Nusantara terus tenggelam kedasar jurang keterbelakangan dan kemiskinan. Mana janji Tuhan ? Seandainya Majapahit tetap berdiri, maka dapat dipastikan, Nusantara akan tetap tegak sejajar dengan China!
Kubu Abangan tidak ikut campur sama sekali dengan urusan perebutan kekuasaan ini. Namun, begitu kaum Putihan memenangkan pertarungan, maka bukan saja komunitas Hindhu-Buddha, kubu Abangan-pun ikut tersudut. Dan pada puncaknya, mereka lama-lama tidak betah juga terus-terusan disudutkan, dihakimi, diajari, dinasehati bahkan diintimidasi. Banyak para pengikut Abangan yang kemudian menjauhi pusat-pusat perkotaan. Menyingkir ke pedesaan. Membentuk kelompok-kelompok kecil, terpisah-pisah dan terkucil. Dan pada perkembangan selanjutnya, sebagian dari mereka ini menyebut dirinya sebagai penganut aliran Kejawen.
(Bersambung).
SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR ATAU SYEH SITI JENAR ( 3 )
Ucapan Syeh Siti Jenar sangat besar dampaknya bagi image beliau. Kubu PUTIHAN semakin getol menghakimi kubu ABANGAN.
Sesungguhnya memang apa yang diucapkan beliau, terlalu tinggi untuk didengar oleh mereka-mereka yang baru saja mengenal spiritualitas. Namun, pada hakikatnya, memang benarlah apa yang beliau ucapkan.
Siapakah DIA YANG TAK TERBAYANGKAN itu? Siapakah RUH manusia itu? Sesungguhnya tiada beda. Ibarat udara yang terkurung dalam sebuah karet sintetis mainan anak-anak yang biasa disebut Balon, dengan udara bebas yang ada ditempat terbuka. Apakah kita bisa membedakannya? Sebuah karet sintetis yang bernama Balon, ibarat Suksma Sariira ( Badan Halus) dan Sthula Sariira (Badan Kasar) manusia. Dan udara yang terkurung didalamnya ibarat Atma Sariira ( Ruh ). Dan udara yang ada ditempat terbuka adalah Brahman itu sendiri.
Suksma Sariira dan Sthula Sariira, keduanya adalah produk Prakrti, produk Alam, yang muncul karena diadakan, karena diciptakan. Dan sesuatu yang diadakan, diciptakan dari ketiadaan, pasti akan memiliki limitasi, memiliki batas kegunaan. Dan pada saatnya, pasti akan berakhir. Oleh karenanya, kedua produk ini disebut produk Maya, produk khayalan, produk fana.
Sedangkan Atma Sariira (Ruh), tidak diciptakan. Tidak diadakan. Dari dulu ada, sekarang dan sampai selamanya. Atma Sariira adalah bagian yang tak terpisahkan dari Brahman. Apabila Atma Sariira masih terbelenggu oleh Suksma Sariira dan Sthula Sariira, tampaklah ia sebagai MANUSHA. Namun, apabila Atma Sariira ( Ruh ) telah lepas dari belenggu Suksma Sariira dan Sthula Sariira, maka apakah bisa dibedakan lagi mana Atman mana Brahman? Keduanya sudah MENYATU LAGI. Sudah MANUNGGAL lagi. Inilah MANUNGGALING KAWULA GUSTI!.
Setiap kali Syeh Siti Jenar berdzikir dgn sendirinya beliau menangkap suara dzikir yg berbunyi lain. Subhani, Alhamdu li, La ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (Maha Suci Aku, segala puji untuk- Ku, tiada Tuhan selain Aku, Maha besar Aku, sembahlah Aku). Walaupun telinga beliau mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, Al-hamduli Allahi, La ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar sebaliknya, sebagai esensi bunyi hadist : "Man ‘arafa Nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu" ( Siapa yang mengenal Diri Sejatinya, sungguh dia telah tahu siapa Tuhannya). Dan Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Nabi Muhammad yang berbunyi : “Al-Insan sirri wa Ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Apabila sudah mencapai puncak spiritualitas seperti ini, apabila sudah mencapai maqam (tingkat) Tajjali ( Allah terlihat nyata) seperti ini. Maka, bisakah kita membedakan mana Jesus mana Bapa? Bisakah kita membedakan mana Siddharta Gautara mana Buddha? Bisakah kita membedakan mana Krishna mana Bhagavan? Bisakah kita membedakan mana Syeh Siti Jenar mana...................................Mengapa kita bertengkar? Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit Kristen. Mereka belum menemukan 'Puncak Kesadaran' yang seharusnya mereka cari. Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat, sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini! Sadarlah!
Maka, bila Syeh Siti Jenar yang telah mampu melampaui belenggu Suksma Sariira ( Nafs ) dan Sthula Sariira ( Jasad ), walaupun nampaknya Atma ( Ruh ) beliau masih terkurung oleh kedua produk fana, produk Maya ini, namun sesungguhnya Ruh beliau telah MENYATU lagi dengan Maha Ruh, yang dulu pernah meniupkan Ruh itu kedalam Nafs dan Jasad! Dalam Nafs atau Suksma Sariira beliau, hanya tersisa Nafs Muthmainnah ( Badan halus yang tenang ) atau Guna Sattva ( Watak suksma sariira yang stabil). Mengapa kita jadi terkecoh hanya karena beda istilah? Dari metode Islam, disebut Nafs Muthmainnah. Dari metode Hindhu disebut Guna Sattva. Apanya yang beda? Kecuali kalimatnya semata. Kecuali kulit luar yang berupa kata-kata semata. Sedangkan esensinya, SAMA! Maka, inilah yang saya maksud JANGAN TERJEBAK METODE! JANGAN DIPERBUDAK METODE! KARENA JIKA ANDA TERJEBAK! ANDA AKAN TERSESAT!
Kisah Syeh Siti Jenar-pun, berlanjut seperti dibawah ini :
Terjemahan :
Syeh Lemah Bang menepati janji,
Datang pada hari Jum'at,
Tepat pada bulan Ramadlan,
Bersamaan dengan tanggal lima,
Kumpulnya Para Auliya',
Pada waktu malam hari,
Telah disiapkan tempat yang sepatutnya.
Seluruh Para Wali,
Hendak membahas masalah Ilmu Rahsa (Ilmu Sejati).
Di Giri Gajah tempatnya,
Bermusyawarah,
Tentang pencapaian masing-masing,
Akan kebenaran Hyang Agung ( Maha Agung ),
Untuk saling dinyatakan kepada semua yang hadir.
Mereka yang tengah mendalami Ilmu (Sejati),
Apabila tajam kesadarannya,
Akan terang pemahamannya,
Begitulah orang yang berguru mendalami Ilmu (Sejati),
Menyibak pusat rasanya rasa,
Menguliti segala perlambang dan simbolisme,
Hanya dengan demikian intisari (esensi)nya bisa didapatkan.
Walaupun banyak wejangan ( berbagai metode dan konsep),
Intisari (esensi)-nya pasti sama,
Tinggal bagaimana kesadaran kita mampu menangkapnya,
Setelah genap semua yang hadir,
Kangjeng Sinuhun Benang,
Yang memulai,
Lantas Sinuhun Kalijaga.
Kemudian Sunan Cirebon (Sunan Gunungjati) dan adik beliau,
Tengah membicarakan cara menghadapi Syeh Lemah Bang,
Juga Sunan Majagung,
Sinuhun Banten,
Dipimpin oleh Sunan Giri Gajah,
Hendak membahas Ilmu (Sejati),
Mengungkapkan pencapaian masing-masing.
Jeng Sinuhun Ratu Giri,
Memulai pembicaraan,
Hai saudaraku semuanya,
Etika manusia yang telah mencapai Ma'rifat ( Pencapaian spiritual tertinggi ),
Tidak pantas jika saling berebut benar,
Maka dari itu mari satukan pendapat,
Dan saling ingat mengingatkan.
Semua Wali harus menyatu,
Jangan berbantahan sendiri-sendiri,
Satukan pendapat kita,
Tentang kebenaran Tuhan (yang telah kita capai masing-masing),
Lantas Sinuhun Benang,
Memulai pertama kali,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau.
Menurut pendapatku,
Tingkatan Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an), dan Ma'rifat ( Melihat Kebenaran Sejati ),
Masih harus ditambah lagi satu tingkatan yaitu MENYADARI KESEMPURNAAN SEJATI,
Apabila masih dalam tingkat Ma'rifat,
Belumlah sempurna,
Karena masih sekedar 'MELIHAT', belum 'MENYADARI'.
Sehingga masih mengira-ngira.
Sinuhun Benang meyakini benar,
Kesempurnaan Ma'rifat,
Kosong Hilang Penglihatan makhluk,
Tiada lagi yang terlihat,
Karena keadaan sang pelihat,
Hanya 'MELIHAT' PANGERAN KANG AGUNG (TUHAN YANG AGUNG),
(Tiada lagi terlihat lain, kecuali hanya) Yang Menyembah dan Yang Disembah.
Jelasnya maksudku (Sunan Benang) ini,
Kesempurnaan Sejati,
Adalah terliputi selamanya ( oleh Dzat-Nya ),
Tiada lagi gerak (makhluk),
Tiada lagi kehendak (makhluk),
Buta tuli bisu kosong (kemakhlukan kita),
Dan segala gerak dan kehendak hanya dari Allah.
Lantas Sinuhun Benang,
Menanyakan kepada Para Wali,
Wahai saudaraku semua,
Inilah Kekasih Semesta,
Yang ada didalam diri kita semua,
Yaitu Ruh kita ini,
Dan nama Ruh kita sebenarnya adalah Muhammad ( Yang Terpuji).
Tiada beda semua Ruh itu,
Apabila diperbandingkan,
Tak ada beda satu sama lainnya,
Bagaimanakah pendapat saudaraku semua?
Menjawab semua Wali,
Sudah benar apa yang anda yakini,
Kami semua sependapat.
Manakah sesunguhnya yang dinamakan Nabi Muhammad,
Sesungguhnya adalah nama dari Ruh,
Itulah Kekasih Allah,
Sebelum semuanya tercipta,
Berada dalam Jinaten Tunggal (Kesejatian Tunggal/ Jadi Satu dengan Allah),
Lantas ditiupkan dahulu,
Sebagai perwujudan Allah. ( Sunan Benang sebenarnya ingin menunjukkan bahwa Ruh manusia dan Allah adalah SATU. Tapi beliau tidak terang-terangan mengatakannya.)
Sinuhun Majagung kemudian,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Menurut pendapatku ( Sunan Majagung ),
Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an ) dan Ma'rifat ( Pencapaian tertinggi spiritual),
Tidak ada gunanya di akherat (kata akherat maksud Sunan Majagung adalah PUNCAK SPIRITUAL) nanti,
Hanya dibutuhkan pada saat ini saja ( Termasuk konsep belaka),
Di akherat tidak ada.
Wujud nyata Kawula ( Hamba ) dan Gusti ( Tuhan ) hanya ada didunia ini,
Terlihat memuji dan menyembah,
Padahal sesungguhnya,
Di akherat tidak terlihat Dua ( maksudnya Kawula dan Gusti. Intinya Sunan Majagung hendak berkata Kawula dan Gusti itu SATU, tapi sama seperti Sunan Benang, beliau juga tidak terang-terangan),
Apabila tidak mempunyai Iman ( Keyakinan ) tentang hal ini,
Tidak akan tahu Kesejatian Ilmu,
(Apabila tidak mengetahui Kesejatian Ilmu, maka ) tidak lengkap menjadi manusia.
Jeng Sunan Gunungjati,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sesungguhnya Ma'rifat itu,
Penglihatannya hanya melihat Tuhan semata,
(Apabila sudah mengetahui Tuhan, maka akan menyadari) Tidak ada yang lain lagi selain Dia,
Tak ada yang kedua dan ketiga ( Sunan Gunungjati sebenarnya juga hendak mengatakan, TIDAK ADA LAGI KAWULA DAN GUSTI JIKA TELAH MENCAPAI MA'RIFAT, YANG ADA CUMA GUSTI. TIDAK ADA LAGI DUALITAS, ATAU TRINITAS LAGI. KAWULA DAN GUSTI ADALAH SATU. Karena KAWULA telah lebur kedalam GUSTI. INILAH TAUKHID. INILAH KE-ESA-AN. Tapi, beliau sama seperti Sunan Benang dan Sunan Majagung, tidak berani mengatakan terang-terangan).
Hanya Allah Yang Maha Tunggal.
Sunan Kalijaga berbicara,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sadarlah senantiasa,
Jangan sampai tergoyahkan,
Senantiasa Menyadari Adanya Tuhan,
Bagaimana cara menyadari-Nya?
Bukankah Tuhan tidak ber-Wujud?
Tidak ber-Kedudukan disuatu tempat juga Tidak ber-Bentuk,
Tidak ada Wujud-Nya,
Tanpa Ruang dan Waktu,
Sesungguhnya ALLAH TIDAK ADA, (Allah yang personil, yang berpribadi seperti yang dipahami orang awam)
APABILA BEGITU,
Sesungguhnya ALLAH ITULAH KEKOSONGAN ABADI,
DIA TIDAK BERWUJUD. (Sunan Kalijaga tidak mau membicarakan tentang KESATUAN WUJUD (WAJIBUL WUJUD) seperti yang lain. Beliau hanya memberikan gambaran bahwasanya apa yang dinamakan Allah itu adalah KEKOSONGAN ABADI YANG MUTLAK, SUMBER SEGALANYA. Jadi, jika kita MENYATU LAGI DENGAN YANG MUTLAK itu, maka itu dimungkinkan. Sunan Kalijaga, tidak mau membahas tentang MANUNGGALING KAWULA GUSTI. Karena beliau sepaham dengan Syeh Siti Jenar.)
Syeh Benthong lantas berkata,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang disebut Allah sesungguhnya,
Tak lain adalah Kawula ( Hamba ) ini juga,
Yang menjadi KENYATAAN WUJUD-NYA,
Benar-benar nyata Ada-Nya terlihat pada Kawula-Nya,
Karena Gusti (Tuhan) dan Kawula (Hamba) adalah Satu. ( Syeh Benthong lebih berani berbicara. Terlihat disini.)
Kangjeng Maulana Maghribi,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang disebut Allah sesungguhnya,
WAJIBUL WUJUD (WUJUD YANG HARUS ADA). ( Syeh Maulana Maghribi, tidak mau berbicara dalam. Terlihat disini).
Dan Syeh Lemah Bang kemudian berkata,
Jangan berputar-putar,
IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU INI TUHAN).
Nyatalah AKU yang Sejati,
Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah maksud 'jargon' spiritual waktu itu).
Tidak ada lagi yang lain,
Apa yang disebut Allah itu.
Maulana Maghribi berkata,
Yang anda tunjuk itu adalah jasad,
Syeh Lemah Bang menjawab.
Hamba membuka rahasia Ilmu Sejati,
Membahas tentang Kesatuan Wujud,
Tidak membahas Jasad (yang fana),
Jasad sudah terlampaui,
Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya Ilmu,
Membuka Segala Rahasia.
Dan lagi sesungguhnya semua Ilmu,
Tidak ada yang berbeda,
Sungguh tiada beda,
Sedikitpun tidak,
Menurut pendapat hamba,
Meyakini bahwasanya Ilmu itu,
Semuanya sama.
Kangjeng Syeh Maulana Maghribi,
Sambil tersenyum berkata,
Benarlah sesungguhnya apa yang kamu katakan,
Akan tetapi itu bukan bahan pembicaraan,
Apabila sampai terdengar,
Oleh banyak orang sangat tabu,
Hal itu bukan bahan percakapan.
Ucapkanlah sendiri,
Jangan sampai terdengar oleh orang lain,
Cukup terdengar oleh telinga sendiri,
Hal itu adalah Sabda larangan,
Apabila bisa,
Saya menyarankan,
Janganlah seperti itu.
Lantas Jeng Sinuhun Giri,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sudah pasti Allah itu sesungguhnya,
Bergelar Prabhu Sadmata,
Janganlah semua yang hadir disini sembrono dalam berbicara,
Dia tidak ada bandingannya,
Hanya Allah Yang Maha Tunggal.
Mendengar kata-kata Sunan Giri ( yang turun ketingkat syari'at),
Seluruh Wali terdiam dan menta'ati,
(Sunan Giri berkata kepada Syeh Lemah Bang), Hanya kamu wahai Syeh Lemah Bang,
Tidak bisa dihalangi,
Tidak bisa dicegah oleh semua Wali,
Tetap tak berubah pendapat kamu.
Berkata Syeh Siti Brit,
Sudah menjadi tekad hamba,
Bagaimanapun juga,
Karena semua itu adalah wejangan,
Diwejangkan kepada hamba,
Oleh Guru hamba,
Tidak bisa lagi dirubah.
Dipaksapun tidak bisa surut,
Dibujuk oleh semua Para Wali,
Tak pula berubah tekadnya,
Sudah menjadi ucapan umum,
Dan sudah menjadi hukum syariat,
Demikian Sunan Cirebon ( Sunan Gunungjati) berkata,
Janganlah tuan seperti itu.
Sudah ditentukan,
Hukumnya adalah dibunuh (Qisas),
Khusus bagi mereka,
Yang mengaku Allah,
Berkata Syeh Lemah Bang,
Segeralah laksanakan,
Jangan ditunda-tunda lagi.
Memang sudah saya niati,
Mencari kematian yang bagaimana lagi,
Sebab bersamaan dengan kematian,
AKAN DATANG KASIH-NYA,
YANG MELIPUTI AKU,
DAN KEKOSONGAN YANG SEJATI AKAN DATANG PADAKU.
Tidak perlu disesali sebab diriku ini memang terdiri dari YANG KEKAL (Ruh) dan YANG FANA (Nafs dan Jasad).
Mau mencari apa lagi?
Tidak ada lagi pencapaian yang lebih sempurna (selain hal ini).
Yang fana selamanya pasti akan kembali ke fana,
Yang kekal akan kembali kepada Allah Yang Tunggal,
Dan jasadku yang sesungguhnya adalah Ruh ini, Iya Ruh Iya Allah, Satu.
Taukhid itu namanya,
Satu kesatuan dalam Kesejatian.
Seluruh Para Wali,
Tersenyum semuanya,
Mendengar apa yang diucapan Syeh Siti Jenar,
Kokoh tidak bisa digoyahkan,
Sangat berani,
Membuka segala rahasia,
Dengan tidak segan-segan lagi.
Menyibak Kesejatian Diri-Nya,
Keberaniannya membikin masalah,
Menjungkir balikkan syara' (Hukum),
Kata-katanya sangat berani,
Dicegah oleh semua Wali,
Namun seolah-olah kurang juga yang mencegah beliau.
Lantas hendak bubar,
Para Wali semua,
Untuk pulang ketempat tinggalnya masing-masing,
Dan Sunan Giri Gajah,
Yang berhak memutuskan hukuman,
Bagi yang menjungkir balikkan syara',
Mumpung belum terlalu lama.
Jeng Sunan Giri menyanggupi,
Akan menjatuhkan hukuman mati bagi Syeh Siti Jenar,
Apabila sudah sampai pada waktunya,
Pelantikan Sultan Demak,
Setelah berhasil merebut kekuasaan dari Majalengka ( Majapahit),
Seluruh Wali menyetujui,
Lantas pulang kekediaman masing-masing.
WARISAN ADILUHUNG
Sesungguhnya memang apa yang diucapkan beliau, terlalu tinggi untuk didengar oleh mereka-mereka yang baru saja mengenal spiritualitas. Namun, pada hakikatnya, memang benarlah apa yang beliau ucapkan.
Siapakah DIA YANG TAK TERBAYANGKAN itu? Siapakah RUH manusia itu? Sesungguhnya tiada beda. Ibarat udara yang terkurung dalam sebuah karet sintetis mainan anak-anak yang biasa disebut Balon, dengan udara bebas yang ada ditempat terbuka. Apakah kita bisa membedakannya? Sebuah karet sintetis yang bernama Balon, ibarat Suksma Sariira ( Badan Halus) dan Sthula Sariira (Badan Kasar) manusia. Dan udara yang terkurung didalamnya ibarat Atma Sariira ( Ruh ). Dan udara yang ada ditempat terbuka adalah Brahman itu sendiri.
Suksma Sariira dan Sthula Sariira, keduanya adalah produk Prakrti, produk Alam, yang muncul karena diadakan, karena diciptakan. Dan sesuatu yang diadakan, diciptakan dari ketiadaan, pasti akan memiliki limitasi, memiliki batas kegunaan. Dan pada saatnya, pasti akan berakhir. Oleh karenanya, kedua produk ini disebut produk Maya, produk khayalan, produk fana.
Sedangkan Atma Sariira (Ruh), tidak diciptakan. Tidak diadakan. Dari dulu ada, sekarang dan sampai selamanya. Atma Sariira adalah bagian yang tak terpisahkan dari Brahman. Apabila Atma Sariira masih terbelenggu oleh Suksma Sariira dan Sthula Sariira, tampaklah ia sebagai MANUSHA. Namun, apabila Atma Sariira ( Ruh ) telah lepas dari belenggu Suksma Sariira dan Sthula Sariira, maka apakah bisa dibedakan lagi mana Atman mana Brahman? Keduanya sudah MENYATU LAGI. Sudah MANUNGGAL lagi. Inilah MANUNGGALING KAWULA GUSTI!.
Setiap kali Syeh Siti Jenar berdzikir dgn sendirinya beliau menangkap suara dzikir yg berbunyi lain. Subhani, Alhamdu li, La ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (Maha Suci Aku, segala puji untuk- Ku, tiada Tuhan selain Aku, Maha besar Aku, sembahlah Aku). Walaupun telinga beliau mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, Al-hamduli Allahi, La ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar sebaliknya, sebagai esensi bunyi hadist : "Man ‘arafa Nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu" ( Siapa yang mengenal Diri Sejatinya, sungguh dia telah tahu siapa Tuhannya). Dan Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Nabi Muhammad yang berbunyi : “Al-Insan sirri wa Ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Apabila sudah mencapai puncak spiritualitas seperti ini, apabila sudah mencapai maqam (tingkat) Tajjali ( Allah terlihat nyata) seperti ini. Maka, bisakah kita membedakan mana Jesus mana Bapa? Bisakah kita membedakan mana Siddharta Gautara mana Buddha? Bisakah kita membedakan mana Krishna mana Bhagavan? Bisakah kita membedakan mana Syeh Siti Jenar mana...................................Mengapa kita bertengkar? Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit Kristen. Mereka belum menemukan 'Puncak Kesadaran' yang seharusnya mereka cari. Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat, sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini! Sadarlah!
Maka, bila Syeh Siti Jenar yang telah mampu melampaui belenggu Suksma Sariira ( Nafs ) dan Sthula Sariira ( Jasad ), walaupun nampaknya Atma ( Ruh ) beliau masih terkurung oleh kedua produk fana, produk Maya ini, namun sesungguhnya Ruh beliau telah MENYATU lagi dengan Maha Ruh, yang dulu pernah meniupkan Ruh itu kedalam Nafs dan Jasad! Dalam Nafs atau Suksma Sariira beliau, hanya tersisa Nafs Muthmainnah ( Badan halus yang tenang ) atau Guna Sattva ( Watak suksma sariira yang stabil). Mengapa kita jadi terkecoh hanya karena beda istilah? Dari metode Islam, disebut Nafs Muthmainnah. Dari metode Hindhu disebut Guna Sattva. Apanya yang beda? Kecuali kalimatnya semata. Kecuali kulit luar yang berupa kata-kata semata. Sedangkan esensinya, SAMA! Maka, inilah yang saya maksud JANGAN TERJEBAK METODE! JANGAN DIPERBUDAK METODE! KARENA JIKA ANDA TERJEBAK! ANDA AKAN TERSESAT!
Kisah Syeh Siti Jenar-pun, berlanjut seperti dibawah ini :
Terjemahan :
Syeh Lemah Bang menepati janji,
Datang pada hari Jum'at,
Tepat pada bulan Ramadlan,
Bersamaan dengan tanggal lima,
Kumpulnya Para Auliya',
Pada waktu malam hari,
Telah disiapkan tempat yang sepatutnya.
Seluruh Para Wali,
Hendak membahas masalah Ilmu Rahsa (Ilmu Sejati).
Di Giri Gajah tempatnya,
Bermusyawarah,
Tentang pencapaian masing-masing,
Akan kebenaran Hyang Agung ( Maha Agung ),
Untuk saling dinyatakan kepada semua yang hadir.
Mereka yang tengah mendalami Ilmu (Sejati),
Apabila tajam kesadarannya,
Akan terang pemahamannya,
Begitulah orang yang berguru mendalami Ilmu (Sejati),
Menyibak pusat rasanya rasa,
Menguliti segala perlambang dan simbolisme,
Hanya dengan demikian intisari (esensi)nya bisa didapatkan.
Walaupun banyak wejangan ( berbagai metode dan konsep),
Intisari (esensi)-nya pasti sama,
Tinggal bagaimana kesadaran kita mampu menangkapnya,
Setelah genap semua yang hadir,
Kangjeng Sinuhun Benang,
Yang memulai,
Lantas Sinuhun Kalijaga.
Kemudian Sunan Cirebon (Sunan Gunungjati) dan adik beliau,
Tengah membicarakan cara menghadapi Syeh Lemah Bang,
Juga Sunan Majagung,
Sinuhun Banten,
Dipimpin oleh Sunan Giri Gajah,
Hendak membahas Ilmu (Sejati),
Mengungkapkan pencapaian masing-masing.
Jeng Sinuhun Ratu Giri,
Memulai pembicaraan,
Hai saudaraku semuanya,
Etika manusia yang telah mencapai Ma'rifat ( Pencapaian spiritual tertinggi ),
Tidak pantas jika saling berebut benar,
Maka dari itu mari satukan pendapat,
Dan saling ingat mengingatkan.
Semua Wali harus menyatu,
Jangan berbantahan sendiri-sendiri,
Satukan pendapat kita,
Tentang kebenaran Tuhan (yang telah kita capai masing-masing),
Lantas Sinuhun Benang,
Memulai pertama kali,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau.
Menurut pendapatku,
Tingkatan Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an), dan Ma'rifat ( Melihat Kebenaran Sejati ),
Masih harus ditambah lagi satu tingkatan yaitu MENYADARI KESEMPURNAAN SEJATI,
Apabila masih dalam tingkat Ma'rifat,
Belumlah sempurna,
Karena masih sekedar 'MELIHAT', belum 'MENYADARI'.
Sehingga masih mengira-ngira.
Sinuhun Benang meyakini benar,
Kesempurnaan Ma'rifat,
Kosong Hilang Penglihatan makhluk,
Tiada lagi yang terlihat,
Karena keadaan sang pelihat,
Hanya 'MELIHAT' PANGERAN KANG AGUNG (TUHAN YANG AGUNG),
(Tiada lagi terlihat lain, kecuali hanya) Yang Menyembah dan Yang Disembah.
Jelasnya maksudku (Sunan Benang) ini,
Kesempurnaan Sejati,
Adalah terliputi selamanya ( oleh Dzat-Nya ),
Tiada lagi gerak (makhluk),
Tiada lagi kehendak (makhluk),
Buta tuli bisu kosong (kemakhlukan kita),
Dan segala gerak dan kehendak hanya dari Allah.
Lantas Sinuhun Benang,
Menanyakan kepada Para Wali,
Wahai saudaraku semua,
Inilah Kekasih Semesta,
Yang ada didalam diri kita semua,
Yaitu Ruh kita ini,
Dan nama Ruh kita sebenarnya adalah Muhammad ( Yang Terpuji).
Tiada beda semua Ruh itu,
Apabila diperbandingkan,
Tak ada beda satu sama lainnya,
Bagaimanakah pendapat saudaraku semua?
Menjawab semua Wali,
Sudah benar apa yang anda yakini,
Kami semua sependapat.
Manakah sesunguhnya yang dinamakan Nabi Muhammad,
Sesungguhnya adalah nama dari Ruh,
Itulah Kekasih Allah,
Sebelum semuanya tercipta,
Berada dalam Jinaten Tunggal (Kesejatian Tunggal/ Jadi Satu dengan Allah),
Lantas ditiupkan dahulu,
Sebagai perwujudan Allah. ( Sunan Benang sebenarnya ingin menunjukkan bahwa Ruh manusia dan Allah adalah SATU. Tapi beliau tidak terang-terangan mengatakannya.)
Sinuhun Majagung kemudian,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Menurut pendapatku ( Sunan Majagung ),
Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an ) dan Ma'rifat ( Pencapaian tertinggi spiritual),
Tidak ada gunanya di akherat (kata akherat maksud Sunan Majagung adalah PUNCAK SPIRITUAL) nanti,
Hanya dibutuhkan pada saat ini saja ( Termasuk konsep belaka),
Di akherat tidak ada.
Wujud nyata Kawula ( Hamba ) dan Gusti ( Tuhan ) hanya ada didunia ini,
Terlihat memuji dan menyembah,
Padahal sesungguhnya,
Di akherat tidak terlihat Dua ( maksudnya Kawula dan Gusti. Intinya Sunan Majagung hendak berkata Kawula dan Gusti itu SATU, tapi sama seperti Sunan Benang, beliau juga tidak terang-terangan),
Apabila tidak mempunyai Iman ( Keyakinan ) tentang hal ini,
Tidak akan tahu Kesejatian Ilmu,
(Apabila tidak mengetahui Kesejatian Ilmu, maka ) tidak lengkap menjadi manusia.
Jeng Sunan Gunungjati,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sesungguhnya Ma'rifat itu,
Penglihatannya hanya melihat Tuhan semata,
(Apabila sudah mengetahui Tuhan, maka akan menyadari) Tidak ada yang lain lagi selain Dia,
Tak ada yang kedua dan ketiga ( Sunan Gunungjati sebenarnya juga hendak mengatakan, TIDAK ADA LAGI KAWULA DAN GUSTI JIKA TELAH MENCAPAI MA'RIFAT, YANG ADA CUMA GUSTI. TIDAK ADA LAGI DUALITAS, ATAU TRINITAS LAGI. KAWULA DAN GUSTI ADALAH SATU. Karena KAWULA telah lebur kedalam GUSTI. INILAH TAUKHID. INILAH KE-ESA-AN. Tapi, beliau sama seperti Sunan Benang dan Sunan Majagung, tidak berani mengatakan terang-terangan).
Hanya Allah Yang Maha Tunggal.
Sunan Kalijaga berbicara,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sadarlah senantiasa,
Jangan sampai tergoyahkan,
Senantiasa Menyadari Adanya Tuhan,
Bagaimana cara menyadari-Nya?
Bukankah Tuhan tidak ber-Wujud?
Tidak ber-Kedudukan disuatu tempat juga Tidak ber-Bentuk,
Tidak ada Wujud-Nya,
Tanpa Ruang dan Waktu,
Sesungguhnya ALLAH TIDAK ADA, (Allah yang personil, yang berpribadi seperti yang dipahami orang awam)
APABILA BEGITU,
Sesungguhnya ALLAH ITULAH KEKOSONGAN ABADI,
DIA TIDAK BERWUJUD. (Sunan Kalijaga tidak mau membicarakan tentang KESATUAN WUJUD (WAJIBUL WUJUD) seperti yang lain. Beliau hanya memberikan gambaran bahwasanya apa yang dinamakan Allah itu adalah KEKOSONGAN ABADI YANG MUTLAK, SUMBER SEGALANYA. Jadi, jika kita MENYATU LAGI DENGAN YANG MUTLAK itu, maka itu dimungkinkan. Sunan Kalijaga, tidak mau membahas tentang MANUNGGALING KAWULA GUSTI. Karena beliau sepaham dengan Syeh Siti Jenar.)
Syeh Benthong lantas berkata,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang disebut Allah sesungguhnya,
Tak lain adalah Kawula ( Hamba ) ini juga,
Yang menjadi KENYATAAN WUJUD-NYA,
Benar-benar nyata Ada-Nya terlihat pada Kawula-Nya,
Karena Gusti (Tuhan) dan Kawula (Hamba) adalah Satu. ( Syeh Benthong lebih berani berbicara. Terlihat disini.)
Kangjeng Maulana Maghribi,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang disebut Allah sesungguhnya,
WAJIBUL WUJUD (WUJUD YANG HARUS ADA). ( Syeh Maulana Maghribi, tidak mau berbicara dalam. Terlihat disini).
Dan Syeh Lemah Bang kemudian berkata,
Jangan berputar-putar,
IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU INI TUHAN).
Nyatalah AKU yang Sejati,
Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah maksud 'jargon' spiritual waktu itu).
Tidak ada lagi yang lain,
Apa yang disebut Allah itu.
Maulana Maghribi berkata,
Yang anda tunjuk itu adalah jasad,
Syeh Lemah Bang menjawab.
Hamba membuka rahasia Ilmu Sejati,
Membahas tentang Kesatuan Wujud,
Tidak membahas Jasad (yang fana),
Jasad sudah terlampaui,
Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya Ilmu,
Membuka Segala Rahasia.
Dan lagi sesungguhnya semua Ilmu,
Tidak ada yang berbeda,
Sungguh tiada beda,
Sedikitpun tidak,
Menurut pendapat hamba,
Meyakini bahwasanya Ilmu itu,
Semuanya sama.
Kangjeng Syeh Maulana Maghribi,
Sambil tersenyum berkata,
Benarlah sesungguhnya apa yang kamu katakan,
Akan tetapi itu bukan bahan pembicaraan,
Apabila sampai terdengar,
Oleh banyak orang sangat tabu,
Hal itu bukan bahan percakapan.
Ucapkanlah sendiri,
Jangan sampai terdengar oleh orang lain,
Cukup terdengar oleh telinga sendiri,
Hal itu adalah Sabda larangan,
Apabila bisa,
Saya menyarankan,
Janganlah seperti itu.
Lantas Jeng Sinuhun Giri,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sudah pasti Allah itu sesungguhnya,
Bergelar Prabhu Sadmata,
Janganlah semua yang hadir disini sembrono dalam berbicara,
Dia tidak ada bandingannya,
Hanya Allah Yang Maha Tunggal.
Mendengar kata-kata Sunan Giri ( yang turun ketingkat syari'at),
Seluruh Wali terdiam dan menta'ati,
(Sunan Giri berkata kepada Syeh Lemah Bang), Hanya kamu wahai Syeh Lemah Bang,
Tidak bisa dihalangi,
Tidak bisa dicegah oleh semua Wali,
Tetap tak berubah pendapat kamu.
Berkata Syeh Siti Brit,
Sudah menjadi tekad hamba,
Bagaimanapun juga,
Karena semua itu adalah wejangan,
Diwejangkan kepada hamba,
Oleh Guru hamba,
Tidak bisa lagi dirubah.
Dipaksapun tidak bisa surut,
Dibujuk oleh semua Para Wali,
Tak pula berubah tekadnya,
Sudah menjadi ucapan umum,
Dan sudah menjadi hukum syariat,
Demikian Sunan Cirebon ( Sunan Gunungjati) berkata,
Janganlah tuan seperti itu.
Sudah ditentukan,
Hukumnya adalah dibunuh (Qisas),
Khusus bagi mereka,
Yang mengaku Allah,
Berkata Syeh Lemah Bang,
Segeralah laksanakan,
Jangan ditunda-tunda lagi.
Memang sudah saya niati,
Mencari kematian yang bagaimana lagi,
Sebab bersamaan dengan kematian,
AKAN DATANG KASIH-NYA,
YANG MELIPUTI AKU,
DAN KEKOSONGAN YANG SEJATI AKAN DATANG PADAKU.
Tidak perlu disesali sebab diriku ini memang terdiri dari YANG KEKAL (Ruh) dan YANG FANA (Nafs dan Jasad).
Mau mencari apa lagi?
Tidak ada lagi pencapaian yang lebih sempurna (selain hal ini).
Yang fana selamanya pasti akan kembali ke fana,
Yang kekal akan kembali kepada Allah Yang Tunggal,
Dan jasadku yang sesungguhnya adalah Ruh ini, Iya Ruh Iya Allah, Satu.
Taukhid itu namanya,
Satu kesatuan dalam Kesejatian.
Seluruh Para Wali,
Tersenyum semuanya,
Mendengar apa yang diucapan Syeh Siti Jenar,
Kokoh tidak bisa digoyahkan,
Sangat berani,
Membuka segala rahasia,
Dengan tidak segan-segan lagi.
Menyibak Kesejatian Diri-Nya,
Keberaniannya membikin masalah,
Menjungkir balikkan syara' (Hukum),
Kata-katanya sangat berani,
Dicegah oleh semua Wali,
Namun seolah-olah kurang juga yang mencegah beliau.
Lantas hendak bubar,
Para Wali semua,
Untuk pulang ketempat tinggalnya masing-masing,
Dan Sunan Giri Gajah,
Yang berhak memutuskan hukuman,
Bagi yang menjungkir balikkan syara',
Mumpung belum terlalu lama.
Jeng Sunan Giri menyanggupi,
Akan menjatuhkan hukuman mati bagi Syeh Siti Jenar,
Apabila sudah sampai pada waktunya,
Pelantikan Sultan Demak,
Setelah berhasil merebut kekuasaan dari Majalengka ( Majapahit),
Seluruh Wali menyetujui,
Lantas pulang kekediaman masing-masing.
WARISAN ADILUHUNG
Subscribe to:
Posts (Atom)